Motif di Balik Sengketa Hasil Pilkada
Kolom

Motif di Balik Sengketa Hasil Pilkada

​​​​​​​Memilih rute jalan penyelesaian sengketa via MK jauh lebih cerdas ketimbang menumpahkannya dalam unjuk rasa kasar.

Bacaan 5 Menit
Motif di Balik Sengketa Hasil Pilkada
Hukumonline

Our election system is one of the most complex in the world. Begitu umumnya kata para pengamat melihat rangkaian proses keadilan electoral kita. Itu juga yang dikatakan, pemerhati tata kelola kepemiluan, Titi Anggraini, kepada saya dalam satu kesempatan bincang-bincang. Kompleksitas itu pula yang kini sedang menyergap dan melumuri gelaran pilkada serentak 2020. Salah satu tolok ukur untuk melihatnya ialah kuantitas dan kualitas perkara sengketa hasil pilkada yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ada 132 perkara yang kini tengah disidangkan MK. Kedua segi itu, baik kuantitas maupun kualitas, sama-sama merefleksikan kesemua bentuk  kompleksitas  itu.

Sudah jamak dipahami bahwa menurut ketentuan Pasal 157 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Itupun masih dibatasi lagi dengan ketentuan Pasal 158UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang menentukan soal ambang batas selisih suara sebagai syarat untuk dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara. Maka, jumlah 132 perkara itu alangkah menarik untuk dicermati.

Residu Persoalan

Jumlah 132 perkara itu ekuivalen dengan 42,96% dari sebanyak 270 pilkada yang dilaksanakan. Dibandingkan dengan pilkada tahun sebelumnya, persentase itu meningkat. Pada 2018, dari 171 pilkada, sebanyak 72 perkara atau 33,9% dibawa dan diadili MK. Persentase-nya naik cukup signifikan. Pertanda pilkada menyimpan banyak problem atau barangkali ada dorongan atau motif lain?

Disebut  the most complex ituantara lain karena pranata penyelesaian dispute pada tahapan pilkada melibatkan deretan  institusi yang dibekali kewenangan berbeda-beda. Sebagai satu sistem keadilan electoral, mereka saling berkait, tetapi sayangnya belum terintegrasi. Dari pelanggaran administrasi, pelanggaran etik penyelenggara pilkada, pidana pilkada, dan perkara TUN, serta soal hasil pilkada, semua telah tersedia pranata penyelesaiannya. Diharapkan, semua segi persoalan pilkada selesai 100% di level dan tahapan masing-masing. Tetapi, nyatanya tidak. Hampir selalu ada ‘residu’ persoalan karena ketidaktuntasan pranata itu dalam mengatasi masalah yang timbul sebelum tiba ke tahapan sengketa hasil ke MK. Keberadaan residu itu terbaca jelas dari dalil permohonan masing-masing perkara.

Dalil-dalil permohonan dari 132 perkara itu beragam. Selain tentu saja mengenai kesalahan penghitungan suara, masih dijumpai dalil pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), netralitas penyelenggara pilkada, problem DPT, politisasi birokrasi, politik uang, dan pelanggaran menyangkut penggunaan hak pilih. Masih ada juga dalil yang menyoal syarat pencalonan kepala daerah. Variannya aneka rupa. Contoh, penyelenggara meloloskan bakal pasangan calon yang tidak memenuhi persyaratan administrasi. Ada juga soal pembatalan paslon, penggunaan ijazah palsu oleh paslon, atau keterlambatan paslon menyerahkan LHKPN. Pertanyaannya, hajatan pilkada menjelang usai, hasil sudah diketahui, kenapa soal syarat pencalonan baru dipersoalkan?

Bukankah  itu semestinya sudah tuntas sebelum bicara soal hasil pilkada? Tetapi, mengingat MK ditempatkan dan dipahami sebagai terminal akhir proses panjang pilkada,  maka kepada MK, asa besar untuk mendapat solusi tuntas masalah itu digantungkan. Sebagaimana semua hal itu terbaca dan tebersit dalam petitum permohonan yang disampaikan. Tak dapat dilarang, orang mau mengetikkan dalil sengketa dalam permohonan tertulis. Bahkan, tak mungkin menutup kemungkinan semua jenis persoalan non-hasil yang pernah muncul pada tahapan sebelumnya, apapun itu, akan dibungkus sebagai dalil permohonan ke MK. Terlebih, ada anggapan, forum persidangan di MK merupakan panggung final yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengeksplorasi permasalahan yang dialami itu sekaligus menguji semua probabilitas.

Motif Beperkara

Dari hal-hal di atas, menarik untuk menghubungkan dengan apa kira-kira motif kuat sehingga orang memutuskan untuk beperkara ke MK?Secara kategoris dapat dirumuskan 6 (enam) karakter orang untuk  merepresentasikan motif-motif itu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait