Pakar HTN: Ada Tujuan Positif dari Keberadaan PP 72/2016
Berita

Pakar HTN: Ada Tujuan Positif dari Keberadaan PP 72/2016

Holding bertujuan untuk mengakselerasi kinerja BUMN agar lebih optimal.

Oleh:
DAN
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES
Diskusi seputar Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih menjadi wacana di ruang-ruang publik. Akhir 2016, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP No.44 Tahun 2005 tetang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. PP No.72 Tahun 2016 ini menjadi pintu masuk diskusi mengenai holding BUMN.

Ketentuan Pasal 2A angka (2) mengatur, Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar.

“Kalau saya melihat dari PP 72/2016, memang sangat sumir PP nya karena PP itu sebetulaya perubahan dari PP 44/2005 tentang tata cara penyertaan modal pemerintah di BUMN. Pasal yang menjadi krusial dan perdebatan itu ada di pasal 2 A angka (2) di mana diatur mengenai adanya modal dari satu BUMN di tempatkan ke BUMN lain dan akhirnya menjadi sebuah anak perusahan dari pemilik modal besar,” terang pakar hukum tata negara Universitas Diponegoro, Leo Tukan, Selasa (6/6), di Jakarta.

Menurut Leo, bunyi Pasal 2 A angka (2) tersebut secara eksplisit menerangkan proses holding. Ia menyebutkan adanya tujuan positif dari keberadaan PP 72 Tahun 2016 yakni semangat dari pemerintah untuk mendorong BUMN agar mampu mengakselerasi kinerjanya lebih optimal lagi. (Baca Juga: Dinilai Bertentangan dengan UU, KAHMI Uji Materi PP Holding BUMN)

“Jadi holding itu tujuannya untuk mengakselerasi kinerja BUMN yang ada,” terang Leo.

Di kesempatan yang sama, pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI), Oskar Vitriano, menilai upaya holding yang dilakukan oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan skala dari BUMN. Hal ini dirasa penting untuk dikembangkan mengingat tantangan globalisasi ekonomi.

Selain itu, Oskar melihat bahwa holding BUMN bertujuan untuk efisiensi dan mengurangi persaingan dalam tubuh BUMN itu sendiri. Dengan begitu, hasil dari kemampuan efisiensi BUMN menjadi salah satu keuntungan Negara. “Kalau dalam satu rantai produksi, dari hulu ke hilir pemiliknya sama maka bisa diharapkan terjadi efisiensi. Efisiensi terhadap BUMN berarti efisiensi terhadap perusahaan,” terang Oskar.

Masih di tempat yang sama, pengamat politik ekonomi Ischsanuddin Noorsy mengatakan sesungguhnya holding dalam perspektif strategi ditujukan untuk memperkuat penetrasi pasar. Namun, selama hodingnya menggunakan model holding dengan kultur seperti Indonesia, maka holding justru ditujukan untuk mempermudah kooptasi perusahaan-perusahaan asing terhadap BUMN. (Baca Juga: Pakar Curiga Ada yang Menghalangi Rencana Pembentukan Holding Energi)

Menurut Noorsy, holding pada awalnya bertujuan untuk memperkuat modal BUMN, agar mampu meningkatkan daya saing BUMN di konteks nasional maupun global. Namun yang menjadi persoalan adalah, budaya kompromi di balik layar yang sering terjadi dalam praktek di Indonesia merupakan potensi berbahaya terhadap kepemilikan Negara terhadap BUMN.

Ia mengambil contoh kasus dalam upaya holding Bank Tabungan Negara (BTN). Menurut Noorsy, alotnya proses holding BTN dikarenakan adanya pihak internal BTN yang menolak adanya kooptasi pihak luar terhadap BUMN.

“Saya tahu persis kenapa BTN menolak, itu karena BTN menolak kooptasi pihak asing. Dan itu bukan direksinya yang menolak, komisarisnya yang menolak. Poinnya adalah dalam praktik ketika holding ditujukan untuk kooptasi maka sesungguhnya ada hengki pengki,” tuturnya.

Untuk itu Noorsy menegaskan upaya holding dalam perspektif perusahaan asing yang terjadi di Indonesia tujuannya adalah untuk berkompromi dengan pemerintah untuk memperoleh sebagian hak kepemilikan BUMN Indonesia. (Baca Juga: KPPU: Holding BUMN Diberikan Konsesi Memonopoli)

”Jadi holding dalam perspektif perusahaan asing yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan asing di Indonesia seperti sekarang ini tujuannya sederhana sekali, hengki pengki, tapi hengki pengkinya gak kelihatan. Itu poinnya, artinya sesungguhnya ada cara-cara di mana penguasa mendapatkan dana tanpa perlu melakukan apa-apa,” terang Noorsy.

Kemudian Noorsy mengatakan, upaya holding terhadap BUMN bukan merupakan solusi untuk melepaskan BUMN dari kepentingan penguasa. Hal ini dikarenakan, dalam prakteknya, terjadi campur aduk antara urusan politik dan urusan bisnis sehingga BUMN terus menjadi ladang uang bagi praktek politik di Indonesia.

“Kalau tadi ada yang mengatakan sejumlah BUMN tidak bisa digunakan sebagai alat kegiatan sosial sesungguhnya sampai sekarang BUMN-BUMN tetap menjadi sapi perah, menjadi ATM,” tegas Noorsy.

Oleh karena itu, Noorsy menyarankan, apabila holding BUMN benar ditujukan untuk meningkatkan daya saing maka perlu ditinjau kembali aspek sosial keberadaan BUMN. “Kalau cara berfikirnya holding dalam rangka memperkuat penetrasi maka harus dilihat bangun ekonomi politiknya seperti apa sekarang. Bangun ekoinomi politiknya adalah, ketika BUMN bicara mengenai hajat hidup orang banyak,” katanya.

Menurut Noorsy, untuk memisahkan antara praktik politik dan bisnis dalam upaya holding BUMN, perlu ada upaya pemisahan aspek sosial dan aspek komersial dari BUMN. Karena menurut Noorsy, terdapat klasifikasi dalam penggiat BUMN. “Dalam kontek Indonesia kedepan, saya mengatakan ada entitas bisnis, ada entitas politik, ada entitas gabungan diantara keduanya,” ujarnya.  

Lebih jauh, Noorsy menarik persoalan Indonesia ke dalam konstalasi ekonomi global. Menurut Noorsy, di luar sedang terjadi pertarungan antara dua kekuatan ekonomi besar. Keduanya yakni kekuatan kapitalisme korporasi dengan kapitalisme Negara. Kapitalisme korporasi dengan Amerika sebagai contohnya tengah berebut pengaruh dengan Negara-negara yang masih mempertahankan korporasi dalam bentuk kepemilikan Negara.

Terakhir menurut Noorsy, saat ini Amerika telah menyetujui maksimalisasi pendayaan energy fosil. Hal ini berbeda dengan kebijakan Negara-negara di dunia yang tengah menekankan penggunaan energi baru terbarukan. Dalam konteks ini, Noorsy menegaskan bahwa aspek energi, keuangan, dan pangan merupakan hal utama dalam persaingan kedua belah pihak yang sedang terjadi.

“Jadi dalam bahasa sederhana, apakah dengan holding sesuai PP 72, Indonesia bisa mengatasi pertarungan antara corporate capitalism dengan state capitalism, jawabnya, jauh api dari panggang,” pungkas Noorsy.


Tags:

Berita Terkait