Para Mupeng
Tajuk

Para Mupeng

Gaji besar untuk menteri suatu keharusan, tetapi keharusan yang harus diimbangi dengan kinerja.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Para Mupeng
Hukumonline
Akhir-akhir ini mendekati pembentukan kabinet Jokowi, banyak kita lihat di media termasuk media sosial, penampilan orang-orang yang menunjukkan minta besar untuk masuk kabinet, atau dengan menggunakan istilah slang anak muda sekarang, orang-orang yang menunjukkan mupeng, singkatan dari "muka pengen". Ya, mereka rajin tampil di banyak acara yang diliput media karena percaya diri yang tinggi, yang sering dibentuk karena provokasi orang-orang sekitarnya (baca: penjilat). Semakin banyak tampil di media dalam wawancara atau acara debat, semakin banyak kata-katanya dikutip media, semakin banyak menulis di media, semakin besar rasa percaya diri itu.

Bahkan ada mantan menteri yang penuh percaya diri dalam acara resmi sebuah asosiasi pengusaha yang berani mengatakan: “siapapun presidennya, saya tetap akan menjadi menteri dalam kabinet baru”. Yang bersangkutan harus mengubur mimpinya karena baru saja ia dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK karena tuduhan pemerasan sebagai pajabat publik. Ada juga seorang ketua organisasi profesi yang selama ini jauh dari deteksi publik, tiba-tiba muncul di media, maksudnya jelas, mengiklankan diri, dengan harapan Jokowi atau timnya melihat bahwa ia pantas dipertimbangkan sebagai salah satu menteri.

Pencitraan dan rasa percaya diri itu tidak lepas dari keinginan mereka untuk diangkat oleh Presiden terpilih sebagai pembantunya, ya pembantunya. Menjadi menteri seakan adalah suatu capaian yang luar biasa hebat. Apa yang sebetulnya dicari oleh orang-orang mupeng tersebut dengan hanya menjadi pembantu? Gaji besar, kekuasaan, kehormatan, perlakuan istimewa, membangun batu loncatan untuk posisi yang lebih tinggi, menciptakan jaringan yang lebih luas, kesempatan melakukan korupsi, atau apa? Yang pasti jelas, ia akan dikelilingi oleh para penghasut, penjilat dan mereka yang berkepentingan secara politis atau bisnis. Yang lebih jelas lagi, kita yang menjadi penonton di pinggiran menjadi tidak habis pikir dibuatnya. 

Gaji dan fasilitas besar? Tidak juga. Gaji menteri sudah diatur dalam peraturan perundangan. Juga fasilitas dan uang embel-embel lainnya. Struktur penggajian menteri biasanya terdiri dari gaji pokok dan sederet tunjangan (tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan kehormatan, uang sidang, tunjangan komunikasi intensif dan tunjangan lain), serta fasilitas (kendaraan dinas, rumah dinas, kesehatan, listrik dan telpon, sopir pribadi, biaya operasional harian, bantuan BBM, dan pengawalan dan pelayanan pimpinan dan fasilitas lain). Total jendral yang diterima dalam bentuk tunai dan dibawa pulang ke rumah hanya sekitar belasan juta.

Jadi uang yang dibawa pulang tidak akan menjadikan mereka kaya tujuh turunan. Apalagi sejumlah parpol mewajibkan menteri yang kadernya untuk menyumbangkan sebagian dari gajinya kepada parpol. Belum lagi, begitu banyak permintaan sumbangan yang mengantri dari berbagai LSM gadungan, sanak keluarga, kegiatan sosial yang tidak jelas, dan lain-lain “pemangku kepentingan”. Walhasil, uang belasan juta tersebut akan amblas, atau bahkan si menteri justru akan nombok untuk menutup pengeluaran bulanannya. 

Pengeluaran negara untuk satu menteri untuk gaji, tunjangan dan fasilitas tersebut sebetulnya cukup banyak, yang secara kasar mungkin mencapai jumlah ratusan juta Rupiah. Semua dimaksudkan agar menteri bisa bekerja dengan tenang karena negara sudah mengurus semua kebutuhannya untuk bekerja dengan baik. Saya kira itu pantas, dan bahkan gaji dan tunjangan yang bisa dibawa pulang ke rumah secara sah harusnya dinaikkan, dan dilipat gandakan, sehingga bisa bersaing dengan remunerasi pimpinan tertinggi badan-badan usaha yang besar.

Singapura dan sebagian negara Eropa Barat sudah mengadopsi hal ini, bahkan jauh lebih baik dari yang dibayarkan kepada menteri-menteri di AS. Buat seorang mahasiswa, aktivis atau jurnalis atau karyawan kecil, jumlah itu tentu luar biasa besar, sehingga masuk akal kalau setiap usulan kenaikan gaji dan tunjangan menteri (dan pejabat publik lainnya) selalu mendapat tentangan keras. Tetapi dari kacamata korporasi, jumlah itu terkesan seperti pemerintah masih bermain-main dengan keseriusan untuk membangun birokrasi yang berkemampuan dan efektif.

Gaji besar untuk menteri suatu keharusan, tetapi keharusan yang harus diimbangi dengan kinerja. UKP4 selama ini ditugasi untuk menilai kinerja setiap kementerian, lembaga negara, serta pejabat tertingginya. Seharusnya dengan program reformasi birokrasi yang sedang berjalan, cukup alasan untuk segera memperbaiki remunerasi menteri dan pejabat negara yang dinilai memiliki kinerja baik dan berhasil mencapai sasaran-sasaran yang dirancang untuknya. Tetapi tentu uang tunai yang dibawa pulang tidak akan pernah bisa membuat mereka kaya satu turunanpun. Untuk saat ini, tanpa perbaikan remunerasi, kalau ingin punya penghasilan baik, lupakan untuk mendapatkan itu dari jabatan di birokrasi. Jadilah pengusaha kalau mau kaya.

Kekuasaan dan kehormatan? Juga tidak, karena masyarakat yang semakin terbuka dan budaya egaliter yang semakin meluas karena proses demokratisasi, ditambah dengan keterbukaan media, menjadikan jabatan menteri bukan suatu cara untuk meraih kehormatan dan kekuasaan. Apalagi dengan sistem presidensil dimana kekuasaan dipusatkan di satu tangan, yaitu Presiden. Semakin banyaknya menteri yang digelandang ke penjara oleh KPK juga membuka mata banyak orang bahwa menteri tidak kebal hukum, menteri tidak dilindungi oleh kekuasaan, dan kedekatan dengan kekuasaan tertinggi di pemerintahan tidak menjadikan menteri tidak tersentuh hukum.

Batu loncatan ke kekuasaan yang lebih tinggi? Tidak juga. Hanya SBY yang bisa membuktikan dia mampu meniti ke atas dengan melalui tangga jabatan menteri, itupun setelah dia berhasil membangun suatu partai dengan ideologi gado-gado, Partai Demokrat, dari nol menjadi menarik bagi pemilih (pada waktu itu) karena menawarkan alternatif baru di tengah kerusakan parpol-parpol lainnya. Terbukti partai inipun gagal total karena ketiadaan ideologi yang kuat dan tingkat “governance” yang rendah. Habibie menjadi presiden karena kecelakaan politik, dan tidak bisa dijadikan preseden.

Banyaknya mereka yang ingin menunjukkan keinginan menjadi menteri mungkin ada hubungannya dengan faktor kultur yang sudah terlanjur terbangun selama ini. Ide tentang kekuasaan, kehomatan, dan kesempatan untuk menapak ke kekuasaan tertinggi melalui jabatan menteri cuma ilusi. Dan itu cukup memabokkan. Munculnya banyak “mupeng” tadi tidak akan terjadi kalau presiden terpilih secara tegas memberikan kriteria, bahwa orang-orang seperti atau dengan kualitas seperti para birokrat Kuntoro, Sri Mulyani, Chatib Basri, Mahendra Siregar, Erry Riyana, dan pendidik dan pemberi motivasi semacam Anies Baswedan yang pantas membantunya menyelenggarakan pemerintahan.

Dengan perkembangan beberapa hari terakhir ini, posisi tawar Jokowi semakin memprihatinkan. Sehingga tidak bisa lain kesempatannya untuk berhasil hanya dengan cara menjalankan pemerintahan dengan menerapkan sistem presidensil secara penuh dan tanpa kompromi. Para menteri kabinet Jokowi pun harus sadar bahwa hanya dengan secara konsisten menerapkan sistem presidensial, mereka bisa memberi bantuan yang memadai kepada presidennya.

Hanya untuk urusan APBN setahun sekali, dan urusan pengawasan Jokowi harus ekstra hati-hati. Kalau kita saksikan bahwa DPR kini banyak dipenuhi oleh “seasoned politicians” dan petualang yang bisa mempencundangi siapapun, maka diperlukan “seasoned politician” juga untuk menghadapi mereka. Yang bisa dan harus didapat dari JK. Kalau tidak, ya buat apa meminta JK mendampingi Jokowi sebagai wapres?

Mengenai fungsi legislasi, banyak proses yang harus dilalui oleh presiden dan DPR dalam membentuk dan melahirkan UU, termasuk uji publik. Publik sudah semakin sadar bahwa kebijakan yang dirumuskan oleh dua pihak tersebut harus “lulus” dari uji publik, yaitu bahwa manfaat UU baru yang terbesar harus menuju dan diterima oleh rakyat banyak. Penguatan MK dan pembersihan MK dari unsur-unsur yang korup tetap harus secara konsisten dilakukan, sehingga pada akhirnya di ujung jalan masih ada penjaga terakhir yang bisa mengoreksi dan menghambat UU yang  dianggap tidak “socially responsible”.

Tetapi seperti teman dan mentor saya selalu bilang dan ingatkan: “… what do we know” …?

Awal Oktober 2014
ats
Tags: