Pasal Pidana Pemilukada Salah Rujuk
Berita

Pasal Pidana Pemilukada Salah Rujuk

Salah satu bukti kecerobohan pembuatan undang-undang. Pejabat negara sulit dijerat pidana pelanggaran pemilu.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi sidang di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. Foto: Sgp
Ilustrasi sidang di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. Foto: Sgp

Pemerintah tak sungkan-sungkan mengakui ada kesalahan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Norma pidana dalam Pasal 116 ayat (4) seharusnya merujuk pada hukum materiil Pasal 80. Faktanya, rujukan yang tertulis adalah Pasal 83.

Pemerintah menyebutnya sekadar kesalahan redaksional. Karena itu pula , pemerintah berpendapat Pasal 116 ayat (4) tidak bertentangan dengan UUD 1945.

“Norma tersebut sesungguhnya tidak bertentangan dengan UUD 1945 apabila rujukannya diubah menjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80,” ujar Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Djohermansyah Djohan saat membacakan keterangan Pemerintah dalam sidang pleno di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (4/4).

Pasal 116 ayat (4) UU Pemda menegaskan, “Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000 atau paling banyak Rp 6.000.000.”

Konstruksi Pasal 116 ayat (4) paralel dengan rumusan Pasal 80. Sebab Pasal 80 merumuskan: “Pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye”. Sedangkan Pasal 83 mengatur tentang dana kampanye.

Djohermansyah mengakui gara-gara kesalahan redaksional itu, norma pidana dalam Pasal 116 ayat (4) tidak bisa diimplementasikan. Perubahan rujukan diperlukan agar norma pidana itu bisa efektif di lapangan. “Konstruksi ini diperlukan agar norma yang dimaksud dapat diimplementasikan secara efektif,” katanya.

Ketua Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo mengakui Panwaslu banyak mendapat laporan dan temuan keterlibatan pejabat negara, pejabat struktural, fungsional dan kepala desa bertindak merugikan atau menguntungkan salah satu pasangan calon seperti dirumuskan Pasal 80 UU Pemda. Namun, Panwaslu kesulitan untuk menindaklanjuti laporan itu kepada penyidik kepolisian.

“Persoalan itu tidak terjadi jika sanksi yang dirumuskan Pasal 116 ayat (4) UU Pemda merujuk pada Pasal 80, bukan Pasal 83. Karena itu, seharusnya isi Pasal 116 ayat (4) lebih tepat merujuk pada Pasal 80,” kata Bambang saat sengaja dihadirkan pemohon untuk memberi keterangan sebagai ahli.

Menurutnya, pihaknya pernah menyampaikan persoalan ketidaksesuaian pengaturan Pasal 116 ayat (4) ini ke Menteri Sekretaris Negara lewat surat No 402/Bawaslu/VI/2010 tertanggal 8 Juni 2010 perihal Permohonan Salinan Otentik UU Pemda. Namun, hingga kini surat itu belum dijawab.

“Dalam Rapat Kerja Sentra Gakumdu yang diikuti Panwaslu kabupaten dan provinsi, kepolisian, kejaksaan di Hotel Millienium pada 26-28 Maret 2012 disepakati bahwa Pasal 116 ayat (4) UU Pemda salah merujuk pasal, sehingga unsur Pasal 116 ayat (4) tidak dapat terpenuhi,” kata Bambang.

Untuk diketahui, Heriyanto memohon pengujian pasal yang salah rujuk itu ke MK. Kesalahan itu, di mata Heriyanto, mengakibatkan tidak bisa menjerat para pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa yang dengan sengaja melakukan pelanggaran pidana dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Aturan itu menyebabkan para pejabat kebal hukum yang melanggar asas persamaan di depan hukum dan prinsip demokrasi.

Heriyanto yang sehari-harinya sebagai Tim Asistensi Bawaslu ini mengaku sering mendapat keluhan dari Panwaslu di daerah akibat berlakunya Pasal 116 ayat (4) UU Pemda ini. Menurutnya, pasal itu membuat Panwaslu daerah bingung karena sesungguhnya tindak pidana yang dilarang diatur Pasal 80, bukan Pasal 83 UU Pemda.

Karena itu, pemohon meminta kepada Mahkamah untuk membatalkan Pasal 116 ayat (4) UU Pemda sepanjang frasa “…sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83…”, diubah dengan frasa “…sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80….”. Sebab, Pasal 83 tersebut tidak mengatur substansi peristiwa pidana yang dilakukan pejabat, tetapi hanya mengatur sumber dana kampanye yang harus dilaporkan kepada KPUD.

Tags: