KPAI lebih menyoroti masalah kekerasan seksual dan pornografi pada anak. Ketua KPAI, Badriyah Fayumi, memaparkan upaya perlindungan anak yang dilakukan pemangku kepentingan, terutama pemerintah belum sistemik. Misalnya, saat ini anak tergolong mudah mengakses pornografi. Itulah salah satu faktor yang menyebabkan anak menjadi korban dan pelaku kejahatan pornografi. Kekerasan seksual dan pornografi anak cenderung meningkat.
Badriyah menjelaskan, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjamin perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Mulai dari pencegahan, kerahasiaan identitas anak dan ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Sayangnya, sebagian aparat penegak hukum di lapangan belum memahami hal tersebut. Sehingga penyelesaian kasus kekerasan seksual dan pornografi terhadap anak tidak ditempatkan sebagaimana amanat peraturan tersebut. Akibatnya, anak berpotensi kehilangan haknya, seperti hak atas pendidikan.
Selaras hal tersebut, Badriyah melihat sistem pendidikan belum mampu melindungi anak dari kekerasan seksual dan pornografi. Oleh karenanya ia mengusulkan agar pemerintah segera memberlakukan kebijakan sekolah ramah anak. Lewat kebijakan itu maka dapat dilakukan upaya pencegahan agar anak tidak menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual dan pornografi. KPAI mencatat dalam tiga tahun terkahir, rata-rata dalam satu bulan 45 anak mengalami kekerasan seksual. “Kemendikbud harus segera memberlakukan sekolah ramah anak,” tuturnya.
Badriyah mengimbau pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah untuk melakukan langkah khusus melindungi anak dari kekerasan seksual dan pornografi, dan menjamin hak dan pemulihan bagi bagi anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual dan pornografi. Ia juga mendesak DPR untuk menyusun UU yang memberikan perlindungan hukum yang maksimal bagi anak korban kejahatan seksual.