Pembelaan Darurat di Pasar Bukit Sulap
Putusan Terpilih MA 2016:

Pembelaan Darurat di Pasar Bukit Sulap

Ukuran pembelaan itu ditentukan berdasarkan upaya terdakwa menghindari ancaman yang membahayakan nyawanya, dan dari posisinya yang tidak dapat melarikan diri

Oleh:
MYS/HAG
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pembelaan darurat yang dilakukan seseorang atas serangan tiba-tiba. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pembelaan darurat yang dilakukan seseorang atas serangan tiba-tiba. Ilustrator: BAS
Dalam hukum pidana, wacana tentang pembelaan darurat (noodweer)sudah berlangsung puluhan tahun. Banyak sarjana pidana yang memberikan pendapat mengenai pembelaan darurat dan syarat-syarat yang dipenuhi. Dalam beberapa literatur ia disebut sebagai ‘pembelaan yang perlu dilakukan terhadap serangan yang bersifat seketika dan yang bersifat melawan hukum’ (noodzakelijke verdediging tegen ogenblikkelijk wederechtelijk aanranding).

Rujukannya ada Pasal 49 ayat (1) KUHP. “Tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang dapat dibenarkan oleh suatu pembelaan yang perlu dilakukan bagi tubuh, kehormatan, atau benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain terhadap serangkan yang bersifat seketika atau yang bersifat mengancam secara langsung dan yang bersifat melawan hukum”.

Pembelaan darurat adalah salah satu alasan penghapus pidana. Terdakwa dinyatakan hakim lepas dari segala tuntutan hukum jika terbukti perbuatan yang dilakukan adalah untuk membela diri dalam keadaan terpaksa. Misalnya, seorang perempuan yang memukul pria yang hendak memperkosanya di dalam kamar hingga korban meninggal. (Baca juga: Syarat-Syarat Pembelaan Diri yang Dibenarkan oleh Hukum).

Putusan mengenai ‘pembelaan darurat’ menjadi salah satu dari 11 putusan terpilih yang dilansir Mahkamah Agung bersamaan dengan peluncuran Laporan Tahun 2016. Yang dipilih adalah putusan No. 964 K/Pid/2015 atas nama terdakwa Iskandar alias Kandar. Perkara ini diputus hakim agung HM Syarifuddin, Maruap Dohmatiga Pasaribu dan H. Margono. (Baca juga: Ini 11 Putusan MA Berstatus Landmark Decisions 2016)

Insiden yang mendasari putusan ini terjadi di Pasar Bukit Sulap, Kelurahan Pasar Satelit Lubuk Linggau Sumatera Selatan, pada akhir Agustus 2014. Terdakwa Kandar, yang sehari-hari berjualan di pasar itu, diajak oleh korban ke belakang pasar. Lantaran tak menaruh curiga apa-apa, terdakwa mengikuti ajakan korban.

Di belakang pasar itu secara tiba-tiba korban menyerang Kandar dengan dua pisau. Ketika pisau terarah ke perutnya, Kandar berhasil menghindar. Ia berusaha menjauh, tetapi masih dikejar korban. Satu tusukan di pundak tak bisa ia elakkan. Berhasil merebut salah satu pisau, Kandar terlibat duel mematikan dengan lawan tandingnya, Agus. Keduanya berlumuran darah. Duel itu berakhir dengan kematian Agus.

Bagi jaksa, perbuatan terdakwa sama saja melanggar Pasal 338 KUHP atau Pasal 351 ayat (1) KUHP. Jaksa menuntut hukuman 12 tahun penjara dikurangi masa tahanan yang sudah dijalani. Di persidangan, pengacara terdakwa menggunakan argumentasi pembelaan diri. Di persidangan tingkat pertama, majelis hakim membebaskan terdakwa dari segala dakwaan.

Di tingkat kasasi, putusan judex facti itu dikoreksi. Unsur pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP sebenarnya terbukti. Tetapi sesuai fakta yang terungkap di persidangan, penikaman yang dilakukan terdakwa adalah membela diri dari serangan korban. Korban menyerang terdakwa dengan dua belah pisau dan sudah sempat mengenai tubuh terdakwa. (Baca juga: SEMA yang Disinggung JPU dalam Sidang Pembunuhan Berencana).

Menurut majelis, perbuatan terdakwa menghindar dari serangan korban, lalu masih dikejar korban sehingga pisau mengenai pundak terdakwa, terdakwa tidak melarikan diri lagi, bahkan berhasil merebut salah satu pisau dan menikam korban, masuk kategori ‘upaya pembelaan darurat untuk mempertahankan hidupnya’. Terdakwa melakukan pembelaan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP. Karena itu terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). (Baca juga: Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa Sebagai Alasan Penghapus Pidana).

Ada dua kaedah hukum yang bisa ditarik dari perkara ini. Pertama, dalam kasus pembelaan darurat untuk diri sendiri, ukuran pembelaan itu ditentukan berdasarkan upaya terdakwa menghindari ancaman atau perbuatan yang membahayakan nyawanya, dan dari posisi terdakwa yang tidak dapat melarikan diri. Kedua, dalam hal unsur tindak pidana terpenuhi maka terdakwa yang melakukan pembelaan darurat (noodweer) untuk diri sendiri dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum karena perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana.
Dalam doktrin ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dapat dikualifikasi pembelaan darurat. Misalnya, mengenai syarat adanya ‘serangan’. Serangan itu, menurut Prof. van Hamel, harus: (a) bersifat melanggar hukum atau bersifat wederrechtelijk; (b) mendatangkan suatu bahaya yang mengancam secara langsung; dan (c) bersifat berbahaya bagi tubuh, kehormatan, atau benda milik sendiri atau milik orang lain.

Sedangkan ‘pembelaan’ terdakwa harus memenuhi syarat: (1) harus bersifat perlu atau noodzakelijk; dan (2) perbuatan yang dilakukan untuk pembelaan itu harus dapat dibenarkan.

Perkara semacam ini pernah diputus Mahkamah Agung dalam kasus pembunuhan di Gianyar, Bali. Dalam putusan No. 579K/Pid/1990, majelis menyatakan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang dilakukan karena terpaksa untuk membela diri. Terdakwa berdiam di rumahnya ketika didatangi korban. Begitu terdakwa keluar rumah pada saat masih gelap, ia diserang korban. Saat itulah ia membela diri sehingga senjatanya mengenai perut korban.

Dosen hukum pidana Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian, doktrin tak satu suara melihat ukuran-ukuran pembelaan terpaksa yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP. Selama ini perkembangan ukuran banyak ditentukan pandangan hakim di pengadilan. “Kembali kepada pandangan pengadilan,” ujarnya kepada Hukumonline.

Tugas hakimlah menjaga objektivitas penilaian terhadap ukuran-ukuran pembelaan diri yang bisa meloloskan pelaku dari jerat hukum. Agar tidak mengalami sesat berpikir, Sofian menyarankan agar hakim mendengarkan keterangan ahli.

Lepas dari kelayakan putusan di atas sebagai putusan terpilih, yang paling penting, kata Sofyan, adalah bagaimana agar penentuan ukuran pembelaan terpaksa itu berdasarkan ilmu pengetahuan, bukan sema-mata insting majelis hakim atau materi pembelaan pengacara terdakwa semata. Di sinilah hakim wajib menggali parameter yang jelas. “Jika tidak menggali, putusannya bisa sesat,” pungkas Sofian.
Tags:

Berita Terkait