Pemerintah Tawarkan Daerah Sebagian Saham Newmont
Berita

Pemerintah Tawarkan Daerah Sebagian Saham Newmont

Syaratnya, Pemda tidak menggandeng perusahaan swasta untuk membeli 1,75 persen saham yang ditawarkan.

Oleh:
Yoz
Bacaan 2 Menit
Menteri Keuangan Agus Martowardojo tawarkan daerah sebagian<br> saham Newmont. Foto: SGP
Menteri Keuangan Agus Martowardojo tawarkan daerah sebagian<br> saham Newmont. Foto: SGP

Kisah divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) memasuki babak baru. Pemerintah Pusat berencana menawarkan 1,75 persen dari tujuh persen saham yang dibelinya kepada Pemda. Pemerintah Pusat mensyaratkan Pemda boleh memiliki saham tersebut tanpa melalui perantara. Namun, Gubernur NTB menginginkan saham tersebut diberi ke daerah secara gratis.

 

Meski belum menentukan apakah saham itu akan ditawarkan kepada Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Pemprov NTB atau dibagi rata, pemerintah menginginkan saham tersebut dimiliki Pemda tanpa perantara. “Pemerintah pusat akan mengambil yang tujuh persen dulu. Setelah itu, baru akan kita tawarkan ke pemda, misalnya 25 persen dari tujuh persen (1,75 persen),” kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Selasa (21/6).

 

Menurut Agus, pihaknya akan mengutus Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk duduk bersama dengan Pemda dengan tujuan menjelaskan penawaran 1,75 persen saham tersebut. Untuk skema pembayarannya, pemerintah membuka opsi kepada Pemda apabila tidak sanggup dibayar secara langsung, maka bisa dicicil melalui dividen selama 13 tahun.

 

Mantan Dirut Bank Mandiri ini berharap realisasi penawaran saham Newmont ke Pemda bisa rampung pada 17 Agustus mendatang. “Yang jelas pemda nanti punya saham langsung ke Newmont,” tuturnya.

 

Pernyataan Menkeu direspon positif Bupati Sumbawa Barat Zulkifli Muhadli. Ia mengatakan pihaknya telah menyiapkan sejumlah dana untuk membeli 1,75 persen saham yang ditawarkan Menkeu tersebut. Menurutnya, dana tersebut bukan berasal dari APBD atau hasil kerjasama dengan swasta.

 

“PIP yang akan mendanai. Pelunasan dengan cara memotong dividen. Diperkirakan lima tahun. Kalau bisa IPO, itu bisa segera lunas,” ujarnya.

 

Zulkifili sendiri pada dasarnya berharap keseluruhan 1,75 persen saham tersebut bisa jatuh ke pihaknya, bukan semua daerah di NTB. Soalnya, selama ini Sumbawa Barat tidak merasakan keuntungan langsung dari divestasi yang ada sebelumnya. Sebagai kabupaten penghasil, katanya, Sumbawa Barat justru sering menerima kerugian.

 

“Sebenarnya 24 persen untuk konsorsium daerah sudah cukup. Sekarang yang 25 persen dari tujuh persen yang ditawarkan menkeu sebaiknya untuk kabupaten penghasil,” jelasnya.

 

Namun, tanggapan Zulkifli berbeda dengan Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi. Ia merasa tawaran itu tidak pantas. Menurut Zainul, dengan melihat keuangan pemerintah daerah yang terbatas, seharusnya Pemerintah Pusat bisa menghibahkan saham tersebut tanpa biaya tambahan. Alasan lainnya, Pemerintah Pusat sudah banyak menerima royalti dan pajak dari Newmont sehingga tak membutuhkan dana lebih banyak lagi.

 

“Apakah pantas yang tidak punya uang ini lalu diminta membeli saham dari pemerintah pusat yang mampu membeli,” kata Zainul kepada wartawan daerah setempat.

 

Seperti diketahui, proses divestasi Newmont terbilang sangat panjang dan berliku. Kontrak Karya (KK) mengatur Newmont dan Sumitomo wajib mendivestasikan 31 persen sahamnya, masing-masing tiga persen, tujuh persen, tujuh persen, tujuh persen, dan tujuh persen bertahap pada tahun 2006, 2007, 2008, 2009, dan 2010.

 

Sesuai Pasal 24 ayat (3) KK, Pemerintah Pusat memiliki hak pertama untuk membeli, dan dapat beralih kepada daerah atau swasta nasional jika pusat atau daerah tidak menggunakan haknya. Meskipun tidak utuh seharusnya, ketentuan pasal ini telah menerjemahkan Pasal 33 UUD 1945 agar sumber daya tersebut dikuasai negara melalui pusat dan daerah.

 

Proses divestasi 2006 dan 2007 gagal terlaksana karena berbagai kepentingan, termasuk upaya Newmont untuk tetap mendominasi. Oknum-oknum pemerintah bersama sejumlah pengusaha nasional juga terlibat perburuan saham. Kisruh ini menyebabkan pemerintah menggugat Newmont ke arbitrase nasional pada 3 Maret 2008 karena dianggap lalai melakukan divestasi.

 

Pada April 2008, Newmont melayangkan gugatan balik yang mempersoalkan keterlibatan pihak ketiga di balik rencana pembelian oleh pemerintah. Pada 31 Maret 2009, arbitrase memenangkan pemerintah, sedangkan Newmont harus memenuhi kewajiban melanjutkan proses divestasi.

 

Divestasi 2006-2007 digabung dengan divestasi 2008-2009, sehingga total saham yang dieksekusi tahun 2009 menjadi 24 persen. Pemerintah Pusat “diwakili” Menteri Perekonomian Sri Mulyani, menyatakan akan membeli saham tersebut. Sayang, suara pemerintah tidak bulat. Pada semester I 2009, terjadi pertarungan dua “kubu”.

 

Pertama, kubu Pemerintah Pusat, didukung Menkeu Sri Mulyani, Menteri BUMN Sofyan Djalil, dan Wapres Jusuf Kalla. Kedua, “kubu daerah”, didukung oleh menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, Menkokesra Aburizal Bakrie, Kepala BKPM M. Luthfi, dan Ketua DPR Agung Laksono.  

 

Hingga pemerintahan SBY-JK berakhir September 2009, keputusan belum diambil. Wapres JK memang pro pusat, tetapi Presiden SBY yang seharusnya mewakili pusat, tidak bersikap. Namun, setelah SBY-Boediono berkuasa, pada November 2009, Presiden SBY menyetujui pembelian oleh “daerah”.

 

“Karena keputusan SBY ini, pusat gagal menggunakan hak rakyat Indonesia menguasai saham Newmont,” kata Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara, beberapa waktu lalu.

 

Ternyata, daerah “mengerjasamakan” 24 persen sahamnya dengan perusahaan swasta, Multicapital (Grup Bakrie). Kerjasama ini terwujud dalam perusahaan patungan bernama Multi Daerah Bersaing (MDB), yang merupakan gabungan Multicapital dengan Daerah Maju Bersaing (MDB), milik Pemprov NTB dan Pemda Sumbawa (KS) dan Sumbawa Barat (KSB).

 

MoU kerjasama MDB ditandatangani 11 Juli 2009, dengan pemilikan saham ditanggung Multicapital dan 25 persen DMB. Seluruh dana untuk pembelian 24 persen saham ditanggung Multicapital, tanpa kewajiban membayar oleh DMB (golden share). Namun, kata Marwan, setelah hampir dua tahun tampaknya daerah tidak memperoleh hak sesuai kesepakatan.

Tags: