Pengelolaan Hutan dan SDA Dituntut Transparan
Berita

Pengelolaan Hutan dan SDA Dituntut Transparan

Guna mencegah korupsi, kerusakan hutan dan konflik.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pengelolaan Hutan dan SDA Dituntut Transparan
Hukumonline
Keterbukaan informasi sangat dibutuhkan masyarakat, tak terkecuali di bidang pengelolaan hutan dan SDA. Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Linda Mursalina, mengatakan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjadi salah satu landasan hukum bagi masyarakat untuk mendapat informasi. Regulasi itu mendorong pemerintah untuk transparan dan terbebas dari KKN.

Sayangnya, walau instrumen keterbukaan informasi publik sudah memadai tapi masih ada lembaga pemerintah yang belum mampu mengimplementasikannya secara baik. Sebanyak 28,91 persen perkara sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP) berkaitan dengan SDA.

Data KIP  itu menurut Linda hampir sama dengan temuan masyarakat sipil yang menunjukkan institusi pemerintah yang bersinggungan dengan SDA cenderung tertutup. Itu terlihat dari periode 2014-2015 dimana ada 975 permohonan informasi yang diajukan ke Badan Publik yang bersangkutan hanya 127 informasi yang diberikan. "Padahal dokumen yang kami minta itu masuk kategori dokumen publik seperti perizinan, anggaran dan AMDAL," kata Linda dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (11/11).

Linda mengatakan buruknya tata kelola membuat kawasan hutan menghilang (deforestasi). Indikasi buruk atau baiknya tata kelola itu bisa dilihat dari keterbukaan informasi di sektor tersebut. FWI memantau sebuah kabupaten/kota yang indeks transparansinya tinggi tingkat deforestasinya rendah. Sebaliknya, semakin rendah indeks transparansi semakin tinggi tingkat deforestasi.

Keterbukaan informasi di sektor kehutanan dan SDA menurut Linda perlu dilakukan untuk menekan kerusakan hutan. Periode 2009-2013 tercatat 4,5 juta hektare hutan di Indonesia hilang. Dari jumlah itu 1,4 juta hectare  berada di dalam kawasan hutan negara. Padahal, kawasan hutan negara wajib dilindungi.

Kemudian, transparansi pengelolaan hutan dan SDA diperlukan karena banyak terjadi konflik di masyarakat berkaitan dengan isu SDA. Diantaranya menyangkut tumpang tindih antara klaim hutan negara, masyarakat adat dan perizinan.

Tindak pidana korupsi juga berpotensi terjadi di sektor pengelolaan SDA. Kajian KPK tahun 2015 menyebutkan ada potensi kerugian negara di sektor kehutanan. Salah satu penyebabnya terkait minimnya keterbukaan informasi di sektor tersebut. Dugaan korupsi di sektor kehutanan khususnya produksi kayu mencapai Rp598-799,3 triliun atau 49,8-66,6 trilyun per tahun.

Linda berpendapat masyarakat bisa aktif melakukan pemantauan dengan cara mengakses informasi sebagaimana diatur UU KIP. Ia mengakui untuk menempuh proses itu tidak mudah, selain membutuhkan waktu yang cukup panjang tingkat pemahaman setiap badan publik terhadap keterbukaan informasi berbeda-beda. Bahkan tidak jarang aparat birokrasi dari lembaga publik yang bersangkutan menanyakan tujuan masyarakat meminta informasi.

Guna membenahi hal itu Linda merekomendasikan agar segala informasi dan dokumen perizinan di sektor kehutanan dan lahan agar terbuka untuk publik. Sehingga publik bisa mengontrol pengelolaan hutan dan lahan guna mencegah kerusakan hutan, konflik dan korupsi.

Komisioner KIP, Yhannu Setyawan, mengatakan UU KIP dan peraturan turunannya sudah memberi panduan bagi badan publik dalam melayani informasi dan data untuk masyarakat. Namun, pelaksanaannya di setiap lembaga berbeda-beda sesuai dengan karakter dan tata kelola institusi yang bersangkutan. Bahkan untuk sektor kehutanan dan SDA kerap beririsan antar lembaga mulai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pertanian, energi dan sumber daya mineral (ESDM).

KIP sedang merancang peraturan teknis yang relevan, memuat standar bagi badan publik untuk menentukan mana dokumen yang tergolong rahasia atau tidak sebagaimana diatur pasal 17 UU KIP. Dengan begitu diharapkan tidak terjadi perdebatan yang berlarut ketika masyarakat meminta sebuah informasi atau dokumen.

Yhannu mengatakan pasal itu tidak jarang jadi dalih lembaga publik untuk tidak memberi pelayanan informasi kepada masyarakat. Oleh karenanya KIP akan menegaskan batasan-batasannya dalam peraturan. "Kalo kami sudah bisa buat standar itu maka mempermudahkan publik untuk mengakses informasi yang dibutuhkan," paparnya.

Yhannu mencatat jumlah sengketa yang masuk ke KIP tahun 2014 mencapai 1.347 perkara, tahun 2015 turun jadi 41. Data itu menunjukan tingkat permohonan masyarakat untuk mengakses informasi tahun 2014 lebih tinggi daripada 2015. Upaya yang harus dilakukan yakni mendorong kesadaran kepada badan publik agar mereka mau membuka dokumen dan informasi publik. Upaya itu bisa dilakukan oleh masyarakat diantaranya aktif meminta informasi kepada lembaga publik.
Tags:

Berita Terkait