Pengujian UU LPS Dinilai Bukan Konstitusionalitas Norma
Berita

Pengujian UU LPS Dinilai Bukan Konstitusionalitas Norma

Pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pengujian UU LPS Dinilai Bukan Konstitusionalitas Norma
Hukumonline
Pemerintah berpendapat persoalan kerahasiaan bank dan masalah penjualan saham bank gagal yang dialami pemohon hanyalah penerapan norma dan bukan isu konstitusionalitas norma. Karenaya, persoalan pemohon yang mengalami kesulitan mendapatkan likuiditas (pinjaman) pemerintah tidak tepat dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).  

”Semestinya apabila pemohon mengalami hambatan dalam melaksanakan tugasnya dibahas lebih lanjut dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), dimana LPS adalah salah satu anggotanya,” kata Staf Ahli Menteri Keuangan Isa Rachmahtarwata dalam sidang pengujian UU Pasar Modal dan UU LPS di Gedung MK, Senin (5/5).

Isa mengatakan bahwa kata ”dapat” dalam Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2009 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus dimaknai pemberian pinjaman kepada LPS, pemerintah dalam mengelola keuangan negara tunduk pada UU APBN.

“Dalam hal ini pemerintah memberi pinjaman kepada LPS harus terlebih dahulu dananya ada di APBN, APBN tersebut memerlukan persetujuan DPR. Pemerintah tidak dapat serta merta memberikan pinjaman kepada LPS,” kata Isa mengingatkan.

Pemerintah berkesimpulan hambatan yang dialami pemohon tidak disebabkan hak konstitusional pemohon sebagai entitas tidak terlindungi dengan berlakunya beberapa pasal dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan UU LPS. Hal ini lebih disebabkan masalah yang bersifat teknis yang semestinya dibahas dalam FKSSK.

”Pemerintah memohon agar MK memutuskan Pasal 45 UU Pasar Modal dan Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), Pasal 85 ayat (2), (3) UU LPS tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Staf Ahli Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal ini berharap.

Pengujian beberapa pasal terkait kewenangan LPS mengambilalih hak dan wewenang pemegang saham dalam penanganan bank gagal berdampak sistemik ini diajukan Kepala Eksekutif LPS Kartika Wirjoatmodjo.

Misalnya, dalam Pasal 6 ayat (2) UU LPS dalam menyelamatkan bank gagal, pemohon secara langsung telah diberi wewenang mengambilalih segala hak dan kewenangan pemegang saham lama pada bank gagal yang diselamatkan. Lebih Pemohon juga telah diberi wewenang dan kewajiban menjual seluruh saham pada bank gagal yang diselamatkan.

Persoalannya, Pasal 45 UU Pasar Modal dapat menghambat atau menghalangi tugas pemohon ketika menjual seluruh saham pada bank gagal dalam hal pemegang saham lama tercatat di bursa efek. Artinya apabila pemegang efek/pemegang saham lama tidak memberi perintah/persetujuan tertulis kepada pemohon, Kustodian (penyimpan aset) tidak dapat mengeluarkan saham/efek itu.

Karenanya, demi perlindungan dan kepastian hukum, Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS harus ditafsirkan apabila tahun ke-5 (pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada bank gagal berdampak sistemik), pemohon dapat menjual saham bank gagal di bawah tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah.

Selain itu, frasa ‘pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya’ dalam Pasal 45 UU Pasar Modal bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai pihak yang diberi wewenang bertindak atas namanya bukan hanya pihak yang diberi wewenang berdasarkan surat kuasa oleh pemegang rekening/pemegang saham, melainkan pihak yang secara langsung diberi wewenang berdasarkan UU LPS.

Selain itu, frasa “sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.”
Tags:

Berita Terkait