Perjalanan di Tengah Badai
Kolom

Perjalanan di Tengah Badai

Krisis masih panjang, kita masih harus bersyukur diberi waktu dan akal sehat untuk menyikapi semua cobaan ini dengan tangan dingin dan hati terbuka.

Bacaan 2 Menit
Perjalanan di Tengah Badai
Hukumonline

Ketika Marco Polo, eksplorer, penulis dan pedagang terkenal dari Venesia pada tahun 1271 sampai 1295 melakukan perjalanan melalui jalan sutera di benua Asia bersama ayahnya, Niccolo, dan pamannya, Maffeo, Marco tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya, apalagi pada waktu Marco harus berinteraksi dengan sangat intens dengan Kublai Khan, penguasa besar Mongol masa itu, dan akhirnya menjadi duta luar negeri Khan. Marco yang dididik dan dibesarkan dalam tradisi pedagang Venesia dan hukum Romawi, harus bertahan hidup di tengah intrik istana Kublai Khan yang menerapkan hukum Mongol (bermula dari Kode Genghis Khan, kakek Kublai) di tengah pemerintahan transisi budaya padang rumput yang keras, menuju budaya yang lebih kompleks di China setelah Kublai menumbangkan Dinasti Song.

Perjalanan Marco menginspirasi begitu banyak filsuf, penguasa dan pemikir masa itu, bahkan sampai saat ini. Suatu perjalanan yang membuka pengetahuan tentang adanya orang, bangsa dan budaya serta peradaban asing. Suatu perjalanan yang membuka pikiran mereka bahwa kita tidak bisa hidup sendiri, bahwa kita lebih bermakna bila dapat hidup berdampingan dengan mereka yang berada di luar sana. "Perjalanan" seseorang, sekelompok orang, bangsa, atau bahkan sistem hukum atau kenegaraan, ditentukan oleh begitu banyak faktor yang mengubah cara berpikir dan perspektif mereka. Seringkali perubahan baru terjadi ketika suatu perjalanan itu memakan waktu yang panjang. Tetapi seringkali pula perubahan itu terjadi dalam kurun waktu yang sangat singkat. Indonesia menjadi merdeka dan menjadi Republik seperti sekarang ini setelah ratusan tahun berproses, tetpi mulai lebih efektif sejak awal Abad 20, pada saat mulai bangkitnya nasionalisme Indonesia.

Kekuasaan represif Suharto dengan Orde Barunya tumbang setelah 30-an tahun berkuasa, hanya karena rusaknya sistem keuangan di Asia dalam krisis moneter dan keuangan Asia selama beberapa bulan saja pada tahun 1998. Korupsi dan buruknya infrastruktur dan tata kelola negara menjadikan tumbangnya Orde Baru sebagai titik tolak bagi concerned citizens untuk melakukan reformasi besar-besaran pada sistem kenegaraan, kelembagaan negara, dan sistem hukum yang lebih mencerminkan tata kelola yang baik dan pro demokrasi. Proses tersebut telah berjalan 22 tahun, dan masih berjalan sampai saat ini, dengan segala tantangan, masalah, keberhasilan dan kegagalannya. Perjalanan bangsa ini ke depan masih panjang menuju cita-cita negara demokrasi, dan seperti perjalanan Marco Polo waktu itu, saat ini kita masih belum atau mungkin tidak akan pernah bisa melihat ujung dari perjalanan itu.

Perubahan-perubahan yang terjadi sekarang ini di Amerika Serikat, Eropa, belahan dunia Arab, China dan banyak negara di kawasan Asia karena masalah perang dagang, perang mata uang, perebutan wilayah, regionalisasi ekonomi, nasionalisme sempit, populisme, perubahan iklim, kemiskinan, ketahanan pangan, rasialisme, perang teknologi, deglobalisasi, dan begitu banyak ketegangan yang terjadi antar etnis, bangsa, kawasan dan negara, menjadikan "perjalanan" banyak orang, kelompok orang, bangsa dan negara semakin sulit diprediksi.

Ketika dunia masih berkontraksi tanpa henti dan tanpa arah seperti itu, seolah belum cukup semua ketidakpastian itu, tiba-tiba muncul satu musuh atau bahaya baru bersama dari semua orang, bangsa dan negara sedunia, Coronavirus 2019 (Covid-19), yang sekarang ini sudah menginfeksi 10.408.433 orang di seluruh dunia, dan membunuh 508.078 orang di seluruh dunia (Worldometers, 30 Juni 2020). Di Indonesia, jumlah orang terinfeksi sudah sebanyak 55,092, dengan jumlah kematian 2.805 orang. Dengan jumlah tes PCR (polymerase chain reaction) secara kumulatif baru mencapai 478.953, atau sampai tanggal 12 Jui 2020 (Data Woldometers) hanya sekitar 1.752 tes dilakukan dari setiap 1 juta penduduk Indonesia, maka Indonesia menurut para ahli pandemi merupakan salah satu negara yang terendah rasio kecukupan tesnya di dunia.  Sejumlah ahli pandemi mengatakan bahwa bila rasio tes PCR ditingkatkan, maka jumlah orang yang terdeteksi telah terinfeksi di Indonesia sebenarnya jauh lebih tinggi dari statistik yang diumumkan oleh pemerintah.

Bukan maksud Penulis untuk membicarakan aspek kebijakan, aspek penanganan pandemi, dan upaya yang telah dan harus dilakukan oleh baik pemerintah, swasta dan anggota masyarakat tentang bagaimana menghadapi pandemi dan kehidupan selama dan setelah pandemi. Dari tren yang terlihat, sudah banyak pihak, baik dari kalangan pemerintah maupun di luar pemerintah yang sudah tidak sabar untuk memasuki kehidupan normal yang baru karena tekanan ekonomi makin membesar, dan persoalan sosial yang menyertainya merupakan risiko yang harus dengan cepat diredam. Pemerintah sudah mengeluarkan banyak kebijakan stimulus ekonomi dan perpajakan, bantuan langsung tunai dan non-tunai kepada masyarakat yang sangat terdampak, mendukung fasilitas kesehatan dan lain sebagainya. Biarlah nanti sejarah yang akan menilai, apakah setahun atau dua tahun dari sekarang kebijakan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah, sektor swasta, dan kita sendiri sebagai anggota masyarakat dalam menghadapi krisis ini menimbulkan penyesalan atau justru merupakan tindakan kita yang paling bijaksana dalam hidup kita.

Konteks yang akan dicoba dibahas dalam tulisan ini adalah tadi, bahwa kita menghadapi suatu masa yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia, dengan skala seperti ini, yang menimbulkan banyak ketidakpastian. Yang jelas, semakin lama suatu negara atau wilayah gagal menekan angka infeksi terhadap penduduknya, maka semakin lama juga negara atau wilayah tersebut dapat bangkit memperbaiki kehidupan ekonomi dan sosialnya. Mustahil bahwa suatu negara atau wilayah yang tercatat tinggi atau tertinggi infeksi di populasinya akan mampu untuk cepat bangkit. Apalagi negara atau wilayah yang sistem dan fasilitas kesehatannya buruk atau tidak mencukupi.

Tags:

Berita Terkait