Seperti diketahui, perkembangan teknologi yang begitu masif membawa pro dan kontra tersendiri. Di bidang layanan keuangan misalnya, sejumlah manfaat dari kemudahan transaksi justru dijadikan celah bagi pelaku kejahatan termasuk untuk transaksi eksploitasi seksual anak. Bagaimana sebetulnya kerangka hukum di tanah air mencegah hal ini?
“Regulasi terkait dengan penanganan eksploitasi seksual anak itu tersebar di berbagai undang-undang. Memang terkadang isu di kita itu yang diimplementasi masih sangat ego sektoral, jadi isu-isu ini belum dipahami sebagai isu bersama,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI) Fachrizal Afandi dalam konferensi pers ASEAN Conference on the Prevention and Response to the Misuse of Financial Service Providers in Child Sexual Exploitation, Rabu (7/8/2024).
Baca Juga:
- Menteri PPPA: Eksploitasi Seksual Anak Harus Diperangi
- Menteri PPPA: Pencegahan Perkawinan Anak Butuh Gerakan Bersama
Ia menyayangkan kompleksitas kejahatan eksploitasi seksual anak melalui penyalahgunaan penyedia layanan keuangan belum diimbangi kesadaran dari masyarakat. “Jadi pendekatannya masih sangat normatif dan doktriner, belum multidisiplin yang mempertimbangkan faktor lain. Karena ini kejahatannya lintas negara, pasti sektornya banyak dan regulasinya bermacam-macam. Inilah perlu dipikirkan bagaimana mensinkronisasi dan mengharmonisasi agar ini bisa ditangani dengan cepat,” imbuhnya.
National Coordinator ECPAT Indonesia Ahmad Sofian membenarkan pendapat Fachrizal. Namun, dia tidak menampik sudah ada sejumlah aturan terkait yang bisa dijadikan koridor hukum. Misalnya, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial, PBI No. 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik, UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), dan lain sebagainya berkaitan dengan finansial.
Sedangkan peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait kejahatan eksploitasi seksual anak dapat dijumpai dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak(UU Perlindungan Anak), UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi,KUHP, dan seterusnya.
“Dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang saya sebutkan, belum ada aturan yang terintegrasi yang berkaitan dengan bagaimana mengawasi dan memitigasi transaksi keuangan yang mencurigakan terkait dengan pemanfaatan penyalahgunaan untuk kejahatan seksual anak,” kata Sofian. Ia membandingkan dengan Australia yang punya kebijakan untuk financial service provider agar mampu melakukan identifikasi dan menyetop transaksi kejahatan seksual anak.