PRT adalah Pekerja, Bukan Pembantu
Berita

PRT adalah Pekerja, Bukan Pembantu

Berada dalam ranah hubungan kerja.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
PRT adalah Pekerja, Bukan Pembantu
Hukumonline

Sosiolog UI, Ida Ruwaida Noor, mengatakan tidak tepat PRT dikatakan sebagai pembantu sebagaimana paradigma yang selama ini berkembang di masyarakat. Menurutnya, PRT dan majikan punya relasi yang sama seperti pekerja dan pemberi kerja. Seperti yang berlaku pada pekerja sektor formal. Ida menyebut pandangannya itu dilontarkan untuk memberi catatan dalam RUU Perlindungan PRT yang saat ini masih dibahas Baleg DPR.

Ida mengatakan secara kultural, sebagian masyarakat Indonesia masih melihat profesi PRT sekedar pembantu, dalam bahasa Jawa disebut batur. Hal serupa juga terjadi di beberapa negara lain yang belum memposisikan PRT sebagai pekerja. Akibatnya, pekerja migran Indonesia yang mayoritas bekerja sebagai PRT di negara penempatan kerap dirundung persoalan. Masih terdapatnya paradigma yang tidak tepat dalam memposisikan PRT, Ida menandaskan, menyebabkan RUU Perlindungan PRT tak kunjung selesai dibahas di DPR sejak 2004.

“PRT itu konteksnya relasi kerja, terlepas sosio kultural, ini pertukaran dari dua pihak yang menukarkan sumber daya, yang satu membayar jasa yang satu memberi jasa,” kata Ida dalam diskusi di Jakarta, Jumat (14/6).

Dalam pembahasan RUU Perlindungan PRT, Ida mengatakan terdapat polemik tentang keterlibatan negara dalam ranah privat. Pasalnya, ada pandangan yang menganggap PRT masuk ranah privat, sehingga tidak perlu diatur oleh negara. Ada pula perdebatan apakah hubungan kerja PRT bermotif ekonomi atau keluarga. Di tingkat mikro, Ida melihat PRT sering digolongkan berada dalam relasi keluarga. Oleh karenanya, Ida menekankan dalam mengatur PRT, perlu diperhatikan sejauh mana dimensi kultural dan konstitusional yang akan disasar oleh kebijakan dalam RUU Perlindungan PRT.

Apalagi tindakan yang disorot tajam terhadap perlakuan yang diterima pekerja migran Indonesia yang berprofesi sebagai PRT di negara penempatan seperti Arab Saudi adalah kultur perbudakan. Sehingga, para majikan di Arab Saudi menurut Ida memposisikan PRT seolah sebagai budak. Dampaknya, ketika bekerja, jasa pekerja migran yang bersangkutan digunakan tidak hanya melayani keluarga inti majikan, tapi juga keluarga besarnya.

Hal tersebut membuat jam kerja PRT menjadi panjang dan tidak mendapat libur. Melihat RUU Perlindungan PRT belum menyinggung soal kategori keluarga yang dilayani PRT, Ida mengatakan kategori keluarga tersebut perlu dimasukan. Sehingga diketahui siapa majikan yang berwenang memberi perintah kepada PRT. Dengan begitu akan jelas batasan jasa yang diberikan PRT kepada majikan. Misalnya, spesialisasi PRT seperti memasak, menyuci, menyetrika dan mengasuh anak. Dapat dimasukan dalam kategori spesialisasi yang dimiliki oleh seorang PRT dalam RUU Perlindungan PRT.

Soal pengupahan, Ida mengatakan mekanismenya dapat mengikuti penetapan upah minimum. Misalnya digunakan komponen hidup layak (KHL) sebagai bagian untuk menghitung besaran upah minimum PRT. Serta bagaimana dengan posisi pihak ketiga, apakah dimungkinkan sebagai lembaga pengerah tenaga kerja. Pasalnya, dengan adanya pihak ketiga akan berpengaruh terhadap upah dari majikan kepada PRT. Kemudian bagaimana ketika terjadi konflik yang timbul dari hubungan kerja antara majikan dan PRT. Bagi Ida berbagai hal tersebut harus diperhatikan RUU Perlindungan PRT.

Pada kesempatan yang sama wakil presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Muhammad Hakim, mengatakan PRT punya hak yang sama dengan warga negara lain. Seperti Jaminan Sosial, penghidupan dan upah layak, kebebasan berserikat dan berorganisasi. Selaras dengan itu mengacu konvensi ILO No.189 tentang Kerja Layak PRT, dijelaskan bahwa PRT selayaknya pekerja. Oleh karenanya, segala hak yang melekat pada PRT sama seperti pekerja pada umumnya. “PRT itu sama dengan pekerja. Waktu kerjanya 8 jam sehari, punya hak cuti, Jaminan Sosial dan hak khusus pekerja perempuan,” ucapnya.

Sedangkan PRT asal Yogyakarta, Jumiyem, mengatakan pada awal menjadi PRT ia belum mengetahui apa itu tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Ia baru mengetahuinya ketika bergabung dengan organisasi PRT. Secara umum, perempuan yang disapa Jum itu mengatakan sebagian besar PRT tidak mengetahui hak dan kewajibannya. Oleh karenanya tak jarang dijumpai ada PRT yang jam kerjanya sangat panjang dan mengerjakan bermacam jenis pekerjaan. Namun yang jelas, PRT menginginkan bagaimana agar mereka terlindungi.

Pasalnya, keberadaan PRT sangat penting untuk mendukung kegiatan sehari-hari yang dilakukan majikan. Jum berharap RUU Perlindungan PRT segera diterbitkan agar ada acuan bagi pihak yang berkepentingan ketika mempekerjakan PRT. “Pemerintah selama ini tidak memberi perlindungan terhadap PRT, jadi banyak kasus. Apalagi mereka (PRT,-red) yang bekerja tidak lewat pelatihan dulu, langsung dari desa,” urainya.

Perjanjian Kerja
Sementara seorang majikan asal Yogyakarta, Novita Arini, merasa lebih baik menjalin hubungan kerja dengan PRT ketika menggunakan perjanjian kerja. Dengan begitu PRT lebih terlindungi hak-haknya seperti upah dan jam kerja. Begitu pula dengan kewajiban PRT, Novita merasa lebih bagus jika tertuang dalam perjanjian kerja. Dengan begitu, hak dan kewajiban antara PRT dan majikannya dapat diketahui secara jelas. Menurutnya, keuntungan itu dirasakan selama lima tahun menjalin hubungan kerja dengan PRT. “Kedua belah pihak sama-sama menyadari hak dan kewajibannya. Jadi lebih berkelanjutan hubungan kerjanya,” tuturnya.

Soal upah, Novita mengatakan walau masih di bawah upah minimum di Yogyakarta, tapi ia menaikan upah PRT-nya tiap enam bulan sebesar 10 persen. Dari kenaikan itu, tiga bulan lalu Novita mencatat upah yang diterima PRT-nya sebesar Rp780 ribu sedangkan upah minimun di Yogyakarta tahun ini sekitar Rp.1,9 juta. Terkait waktu kerja, Novita mengatakan lewat perjanjian kerja yang disepakati bersama, PRT yang dipekerjakannya bekerja 8 jam tiap hari.

Namun, Novita mengakui kadang ia meminta tolong kepada PRT-nya untuk melakukan sesuatu di luar jam kerja. Tapi, bukan berarti jasa yang diberikan di luar jam kerja itu tidak mendapat imbalan karena Novita berupaya memneuhi kebutuhan PRT-nya dengan baik. Seperti memberi ruang tidur beserta fasilitasnya. Selain itu, Novita memberikan libur satu hari setiap 6 hari kerja. Serta cuti, seperti libur panjang di hari raya Idul Fitri sekaligus memberi kesempatan luas kepada PRT-nya pulang ke kampung halaman dan cuti lainnya untuk keperluan keluarga atau berekreasi. Dalam menjamin kesehatan PRT-nya, Novita mengaku menjamin semua biaya kesehatan yang diperlukan.

Dari pengalamannya mempekerjakan PRT dengan perjanjian kerja, Novita mengaku puas. Menurutnya, PRT layak untuk mendapat upah, jam kerja dan jaminan kesehatan yang baik. “Perjanjian kerjanya didiskusikan lebih dulu sebelum dia (PRT,-red) bekerja,” ujarnya.

Tags: