Respons MA Terkait Rencana Moratorium PKPU dan Kepailitan
Terbaru

Respons MA Terkait Rencana Moratorium PKPU dan Kepailitan

MA memandang bila produk hukumnya berupa perppu sudah tepat. Sebab kebijakan moratorium seperti ini di beberapa negara biasa dilakukan.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Usulan Apindo agar pemerintah melakukan moratorium (menghentikan sementara) mekanisme permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan pailit ke pengadilan niaga hingga 2025 menimbulkan pro dan kontra. Pemerintah mengaku tengah membahas dan mengkaji hal ini untuk mencegah terjadinya moral hazard (tindakan yang menimbulkan risiko kerugian bagi pihak lain, red) sebagai alasan rencana kebijakan ini.

Selain itu, mudahnya persyaratan yang diatur UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menjadi salah satu sebab meningkatnya pengajuan perkara PKPU dan pailit di pengadilan niaga selama pandemi. Hal ini dikhawatirkan kalangan dunia usaha sebagai ancaman dan diduga ada pihak tertentu yang memanfaatkan celah UU Kepailitan dan PKPU untuk tujuan yang kurang baik.    

Belakangan wacana yang berkembang pemerintah kemungkinan bakal menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk melakukan moratorium PKPU dan pailit atau merevisi UU Kepailitan dan PKPU. Hal ini sebagaimana diungkapkan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Teddy Anggoro dalam sebuah kolom berjudul “Meluruskan Logika Pemerintah Soal Usulan Moratorium PKPU dan Pailit" yang dimuat di Hukumonline pada 25 Agustus 2021.    

Teddy, yang tercatat sebagai anggota Panitia Antar Kementerian (PAK) penyusunan RUU Amandemen UU No. 37 Tahun 2004 sejak pertengahan tahun 2020 lalu, mengkritisi munculnya usulan moratorium PKPU dan pailit yang digaungkan Apindo dan ditanggapi positif oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di tengah proses pembahasan revisi UU Kepailitan dan PKPU. (Baca Juga: AKPI Respons Rencana Moratorium Permohonan PKPU dan Pailit)

Dia mengungkap saat rapat di Kemenko Perekonomian pada 30 Juli 2021 sebagai tindak lanjut arahan Presiden dalam Rapat Terbatas pada 27 Juli 2021, tidak terdapat perwakilan Mahkamah Agung (MA) dalam undangan rapat itu. Dalam Rapat Terbatas itu, Teddy menilai Presiden telah menempatkan dirinya sebagai kepala pemerintahan dan memerintahkan anggota kabinet di bawahnya untuk membahas dan mengatur penghentian sementara upaya hukum permohonan pernyataan pailit dan PKPU yang merupakan kewenangan lembaga yudikatif (MA).

Menurutnya, presiden seharusnya menempatkan dirinya sebagai kepala negara ketika akan mengamandemen UU Kepailitan dan PKPU. Apalagi jika arahnya dalam bentuk perppu, seharusnya terlebih dahulu menyampaikan rencananya kepada MA. Hal ini bentuk krisis konstitusi, di mana kekuasaan eksekutif, menghentikan sesuatu yang merupakan kewenangan kekuasaan yudikatif secara sepihak. Sekalipun MA tidak keberatan, bukan berarti pemerintah bisa bebas melanggar tertib hukum bernegara.

Menanggapi wacana ini, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menganggap rencana moratorium permohonan PKPU dan pailit ini bentuk kebijakan pemerintah. Dia mengatakan sebagai lembaga peradilan, MA menunggu saja hasil pembahasan kebijakan moratorium ini. Yang terpenting, kata Andi, adalah produk hukumnya itu nantinya dalam bentuk apa.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait