SEMA Pembatasan PK Berpotensi Timbulkan Kerancuan Hukum
Berita

SEMA Pembatasan PK Berpotensi Timbulkan Kerancuan Hukum

Padahal MA sendiri melalui yurisprudensinya (Putusan No. 249/1967 P.T Perdata serta Putusan MA Nomor 105K/sip/1968) pernah menyatakan bahwa SEMA tidak dapat mengesampingkan suatu norma hukum.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Peneliti PSHK, Ronald Rofiandri (tengah). Foto: www.pshk.or.id
Peneliti PSHK, Ronald Rofiandri (tengah). Foto: www.pshk.or.id
Kritik pedas terhadap Mahkamah Agung (MA) atas terbitnya SEMA No.7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana datang dari berbagai kalangan. Tak saja dari pemerhati hukum, tapi juga dari aktivis penggiat hak asasi manusia. Bagi sebagian kalangan, SEMA dinilai berpotensi menimbulkan kerancuan hukum bagi pengadilan.

“Penerbitan SEMA No. 7 Tahun 2014 ini berpotensi menimbulkan kerancuan hukum bagi pengadilan,” ujar Direktur Monitoring Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronal Rofiandri, di Jakarta, Selasa (6/1).

Ronald berpandangan perlu segera dibenahi dan diluruskan terkait dengan aturan peninjauan kembali (PK) demi keadilan dan kepastian hukum. Menurutnya, dalam SEMA, MA dipandang tidak tepat ketika berpendapat bahwa permohonan PK dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali. Padahal norma tersebut telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat oleh putusan MK. No. 34/PUU-XI/2013.

Menurut Ronal, alasan MA terkait dengan putusan MK tak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur PK dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 66 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah tidak tepat.

Ronal berpandangan kedua pasal tersebut semestinya dimaknai sebagai dasar terhadap pengajuan PK untuk semua perkara, namun ada pengecualian terhadap perkara pidana dan militer. Menurut Ronal, aturan PK bagi perkara pidana dan militer secara khusus diatur dalam KUHAP. “Permohonan PK untuk perkara pidana dan militer yang sebelumnya dibatasi hanya satu kali (Pasal 268 ayat (3) KUHAP) telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Lebih jauh Ronal berpendapat, SEMA bukanlah produk peraturan perundang-undangan, melainkan hanya instrumen administrasi yang bersifat internal. Selain itu, SEMA hanya ditujukan kepada hakim di seluruh pengadilan sebagai petunjuk lebih lanjut mengenai suatu norma peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dan berkaitan dengan administrasi pengadilan.

Lantaran bukan produk peraturan perundangan-undangan, maka SEMA tidak dapat mengesampingkan putusan MK. Setidaknya, putusan MK membentuk norma baru, layaknya suatu peraturan perundang-undangan. “Bahkan MA sendiri melalui yurisprudensinya (Putusan No. 249/1967 P.T Perdata serta Putusan MA Nomor 105K/sip/1968) pernah menyatakan bahwa SEMA tidak dapat menyampingkan suatu norma hukum (peraturan perundang-undangan),” ujarnya.

Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti,mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pengajuan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali seolah ‘ditabrak’ MA melalui SEMA tersebut. Padahal SEMA diperuntukkan internal hakim. Hakim dalam menjalankan tugasnya tentu dalam kondisi merdeka. Menurutnya, dengan terbitnya SEMA berdampak emohnya pengadilan menerima pengajuan PK dari terpidana. Misalnya, kata Poengky, Pengadilan Negeri Tengerang.

Ia berpandangan SEMA telah menambrak konstitusi. Pasalnya, KUHAP bersifat lex spesialis sejak adanya putusan MK, khususnya terkait pengajuan PK. Soalnya norma baru tersebut mengesampingkan norma lama, yakni Pasal 24 ayat (2) UU tentang Kekuasaan Kehakiman.

 “Perlu kami ingatkan bahwa keputusan MK tersebut adalah pembatalan norma prosedural yang diatur dalam UU yang lex spesialis yaitu KUHAP. Dan norma yang diatur dalam lex spesialis ini juga ada dan ditentukan di dalam UU yang bersifat generalis seperti UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung,” ujarnya.

Wakil Direktur  Human Right Working Group (HRWG), M Choirul Anam, menambahkan Kejaksaan Agung tak boleh menjadikan SEMA sebagai rujukan dalam melakukan eksekusi terhadap terpidana mati. Soalnya, hal tersebut dinilai inkonstitusional. Lebih jauh ia mengatakan sebelum terbitnya SEMA, ia bersitegang dengan Ketua PN Tangerang terkait penolakan pengajuan PK kedua.

Seharusnya, sejak adanya putusan MK, hakim patuh dan tunduk terhadap putusan MK yang bersifat final dan mengikat. “SEMA ini menimbulkan tanda tanya,  SEMA ini untuk siapa, kepentingan siapa, apa untuk balas dendam atau pencitraan Jokowi, karena Jokowi mendorong eksekusi mati,” ujarnya.

Ia pun mengecam badan peradilan tertinggi itu lantaran telah mengabaikan putusan MK. Pasalnya kebijakan MA tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan. Sebaliknya, MA justru terjebak dengan pencitraan pemerintahan di bawah tampuk kepemimpinan Joko Widodo- Jusuf Kalla itu. Ia menyayangkan MA terseret dalam labirin pencitraan Jokowi. Semestinya badan peradilan independen dan patuh terhadap putusan MK yang menjadi norma baru dalam KUHAP.

Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi, mengamini pandangan Poengky dan Anam. Menurutnya, pembatasan pengajuan PK melalui SEMA membuat ketidakadilan terhadap terpidana yang masih menempuh upaya hukum. Ia khawatir terpidana yang dihukum mati ketika di eksekusi, belakangan terdapat bukti baru yang membuktikan bukan terpidana dimaksud sebagai pelaku kejahatan. “Seperti kasus Sengkon dan Karta. Jadi saya kira SEMA ini bukan saja sebuah kekeliruan, tetapi kekonyolan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait