Sering Keliru, Presiden Diminta Terbitkan Perppu Pembatalan UU Cipta Kerja
Berita

Sering Keliru, Presiden Diminta Terbitkan Perppu Pembatalan UU Cipta Kerja

Ada enam alasan, diantaranya mulai menimbulkan ketidakpastian hukum, terjadi banyak kesalahan sejak rapat paripurna, hingga telah terpenuhinya kriteria hal ihwal kegentingan memaksa akibat UU 11/2020 yang menimbulkan kevakuman norma-norma yang mengandung kesalahan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES

Untuk kesekian kalinya, naskah UU Cipta Kerja terjadi kesalahan/kekeliruan setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo dan diundangkan dalam Lembaran Negara RI (LNRI) Tahun 2020 Nomor 245, Senin (2/11/2020). Ada kesalahan rujukan pasal/ayat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, terutama Pasal 6 dan Pasal 175. Rumusan Pasal 6 mencantumkan rujukan Pasal 5 ayat (1) huruf a. Padahal Pasal 5 tidak memiliki ayat. Selain itu, Pasal 175 ayat (5) tertulis merujuk pada ayat (3), seharusnya merujuk pada ayat (4).    

Pemerintah pun melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengakui ada kesalahan teknis dalam UU Cipta Kerja. Pihaknya menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU Cipta Kerja. Namun, dia mengklaim kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif, sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja. Atas masalah ini, kembali muncul desakan agar Presiden menerbitkan Perppu Pembatalan UU Cipta Kerja ini.    

“Sudah sewajarnya apabila Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu guna membatalkan UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini, karena substansinya dikhawatirkan dapat merugikan masyarakat,” ujar anggota Komisi V Suryadi JP dalam keterangannnya kepada Hukumonline, Rabu (4/11/2020) di Jakarta. (Baca Juga: Akademisi Ini Sebut UU Cipta Kerja Tak Boleh Direvisi Setelah Ditandatangani Presiden)

Dia menilai sejak awal penyusunan hingga persetujuan UU Cipta Kerja itu menuai banyak kontroversi. Dimulai sejak proses pembuatan di pemerintah yang tertutup; pembahasan dinilai ugal-ugalan; pengambilan keputusan persetujuan, revisi pasca paripurna, hingga pasca diterima pemerintah. Belum lagi, naskah yang beredar di masyarakat beberapa kali mengalami perubahan.

Naskah UU yang diserahkan DPR ke pemerintah semestinya sudah final, tak boleh lagi ada perubahan. Tapi, setelah pemerintah menerima naskah UU, ternyata kembali terjadi perubahan halaman. Begitupula adanya penghapusan Pasal 46 yang ternyata di tingkat Panja telah disepakati di drop. Namun oleh Baleg masih dimuat dalam naskah.

Proses koreksi mulai di tingkat Baleg pasca paripurna hingga pemerintah menuai cibiran dari kalangan akademisi dan elemen masyarakat. Pasalnya, naskah RUU yang telah disetujui dalam rapat paripurna seharusnya tak boleh lagi diubah-ubah. Kontroversi tak berhenti, setelah Presiden Joko Widodo menandatangani naskah UU Cipta Kerja ini pada 2 November 2020, naskah kembali terjadi kekeliruan rujukan pasal dalam Pasal 6 dan Pasal 175.

“Tentunya dapat diasumsikan suatu dokumen negara yang ditandatangani oleh Presiden RI sudah melalui proses pemeriksaan yang sangat ketat, tapi masih ditemukan banyak kesalahan. Apalagi dokumen tersebut berupa UU yang sudah pasti berdampak pada kehidupan seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait