Tahun 2022, Kemlu Tingkatkan Intensitas Perundingan Wilayah Perbatasan
Terbaru

Tahun 2022, Kemlu Tingkatkan Intensitas Perundingan Wilayah Perbatasan

Di tahun 2022, upaya akselerasi intensitas perundingan perbatasan darat dan maritim akan terus ditingkatkan. Klaim apapun oleh pihak manapun harus dilakukan sesuai hukum internasional termasuk UNCLOS 1982.

Oleh:
CR-28
Bacaan 3 Menit
Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi. Foto: CR-28
Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi. Foto: CR-28

Meski tahun berganti, angka lonjakan terinfeksi Covid-19 masih belum mereda. Dunia masih “dikepung” dua varian virus Covid-19 dengan tingkat penyebaran tinggi yaitu varian Delta dan Omicron. Di tengah tantangan ini, sepanjang 2021, Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu) tetap menempuh berbagai langkah diplomasi baik secara bilateral, regional, atau multilateral. Seperti konflik wilayah perbatasan antar negara, bencana alam, krisis pengungsi, perubahan iklim, termasuk diplomasi kesehatan.  

Salah satu diantaranya penguatan diplomasi kedaulatan. Di tengah penyebaran Covid-19, negosiasi perbatasan tetap menjadi salah satu agenda penting yang terus disoroti para diplomat. Berdasarkan data Kemlu, telah terlaksana 17 perundingan dengan Filipina, Malaysia, Palau dan Vietnam di tahun 2021. Angka tersebut meningkat pesat dua kali lipat ketimbang tahun 2020 yang hanya terdapat 7 kali perundingan.

“Di tahun 2022, upaya akselerasi intensitas perundingan perbatasan darat dan maritim akan terus ditingkatkan,” kata Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Lestari Priansari Marsudi dalam Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri (Annual Press Statement 2022) yang disiarkan langsung pada kanal youtube resmi MoFA Indonesia, Kamis (6/1/2021) lalu. (Baca Juga: Kenali UNCLOS, Dasar Hukum Internasional untuk Kedaulatan di Natuna)

Untuk batas maritim, kata dia, setidaknya terdapat empat rencana yang hendak diupayakan. Pertama, dengan Malaysia yakni Perjanjian Batas Laut Teritorial di segmen Laut Sulawesi dan segmen Selat Malaka bagian Selatan yang diharapkan dapat segera ditandatangani. Kedua, dengan Palau yakni perundingan pada tingkat Tim Teknis untuk garis batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), kemudian dilanjutkan dengan menggantungkan target tercapainya kesepakatan parsial.

Ketiga, dengan Filipina yakni memulai perundingan terkait penetapan batas landas kontinen di Tingkat Teknis dan menindaklanjuti kesepakatan untuk menetapkan batas landas kontinen dan ZEE ke dalam dua garis batas yang berbeda dan tidak sama. Keempat, dengan Vietnam yakni melanjutkan perundingan pada tingkat Tim Teknis dalam rangka memperoleh kesepakatan garis batas ZEE.

Berkenaan dengan batas maritim tersebut, Retno menegaskan semua perundingan yang ada akan senantiasa dilandasi Konvensi Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). Konvensi tersebut telah diratifikasi Indonesia melalui UU No.17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).

“Secara khusus, saya disini ingin menekankan satu prinsip terkait kedaulatan dan hak berdaulat di perairan Indonesia bahwa klaim apapun oleh pihak manapun harus dilakukan sesuai hukum internasional termasuk UNCLOS 1982. Indonesia akan terus menolak klaim yang tidak memiliki dasar hukum yang diakui secara internasional,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait