Teknologi tidak bisa dipungkiri, berkembang sangat pesat di era disrupsi ini. Yang paling terasa nyata perbedaannya adalah pada masa sebelum dan sesudah pandemi Covid-19. Dari yang awalnya semua pertemuan harus diadakan melalui tatap muka dan keberadaan secara fisik dianggap penting, perspektif tersebut kemudian mulai bergeser semenjak pandemi menyerang seluruh dunia.
Indonesia pun tidak luput dari efek tersebut. Keadaan memaksa semua orang untuk berada di rumah dan melakukan interaksi melalui teknologi, baik dalam segi personal maupun profesional.
Memanfaatkan teknologi dan keterbatasan interaksi semaksimal mungkin, akhirnya diterapkan oleh banyak pekerja pada masa pandemi. Dengan hampir seluruh sektor non-esensial menerapkan kebijakan bekerja dari rumah atau work from home, teknologi mengambil dan memiliki andil besar dalam hal masa transisi.
Teknologi dalam bentuk aplikasi yang memungkinkan pekerjaan dan koordinasi antar individu serta tim dilakukan secara virtual seperti Zoom Meeting, Microsoft Teams, dan Google Meet menjadi opsi yang banyak digunakan dan digemari dalam masa saat pandemi bahkan hingga saat ini.
Berkecimpung di bidang litigasi sejak masuk di kantor Fredrik J Pinakunary Law Offices tahun 2017, membuat Tasha Kartika menyadari bahwa teknologi membantu dan membawa perubahan, terutama dalam proses bersidang di pengadilan. Awalnya, seluruh proses persidangan dilakukan secara tatap muka di pengadilan.
Kemudian, Mahkamah Agung pun mengeluarkan berbagai peraturan selama masa pandemi hingga saat ini untuk memudahkan dan mendukung untuk aware dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Sebagai contohnya, e-court serta pelaksanaan sidang secara hybrid dan virtual. Para pengacara juga termotivasi untuk senantiasa beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Bagi Tasha, teknologi memang benar membantu segala aspek dalam kehidupan, tapi tetap tidak bisa menggantikan interaksi nyata antarmanusia. Berkecimpung di bidang hukum membuat Tasha menemui banyak orang dengan masalah dan karakter yang berbeda-beda.
Penanganan satu klien dan klien yang lain tentu membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Misalnya, ada klien yang menyukai pembahasan secara mendetail, dengan mengupas suatu permasalahan beserta resikonya dari berbagai aspek dan kemungkinan.
Di sisi lain, ada klien yang tidak suka dengan pembahasan yang luas, dan ingin langsung mengetahui intinya. Dilihat dari kedua contoh sederhana ini saja, sudah dapat dipastikan bahwa pendekatan, penanganan, komunikasi, dan outcome dari kedua klien tersebut akan berbeda.