Tiga Catatan IGJ atas RUU Cipta Kerja
Berita

Tiga Catatan IGJ atas RUU Cipta Kerja

Diantaranya investasi tidak dibarengi komitmen kuat perlindungan HAM; agenda pembangunan ekonomi tidak dibarengi penguatan kepastian hukum untuk korban kegiatan investasi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

Rachmi mengusulkan dalam perdagangan internasional dan menyusun regulasi terkait, pemerintah perlu mengedepankan kepentingan publik secara luas. Hal ini penting karena tingkat kepercayaan investor turun dan indikasi perlambatan perekonomian global, sehingga risiko ekonomi cukup tinggi.

“Perjanjian perdagangan bebas dan omnibus law RUU Cipta Kerja bukan solusi instan dalam menyelesaikan persoalan ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Jika persoalannya itu birokrasi dan prosedur perizinan harusnya itu yang menjadi fokus, bukan menyasar kemana-mana,” kritiknya.

Berdampak buruk

Deputi Sekjen Kiara, Parid Ridwanuddin, menyebut RUU Cipta Kerja berdampak buruk terhadap nelayan dan masyarakat terutama yang berada di pesisir dan pulau kecil. RUU Cipta Kerja menghapus batas yang membedakan nelayan kecil/tradisional dan nelayan besar. Dengan dihapusnya batasan tersebut, maka nelayan kecil posisinya dianggap setara dan seimbang dengan nelayan besar, padahal yang terjadi sebaliknya.

“Regulasi yang berlaku saat ini seperti UU Perikanan dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, karena kegiatan yang mereka lakukan tergolong ramah lingkungan dan tidak mengeksploitasi sumber daya perikanan,” kata Parid Ridwanuddin dalam kesempatan yang sama.

Menurutnya, RUU Cipta Kerja akan mewajibkan masyarakat pesisir untuk mengantongi izin sebelum mengelola dan melakukan pemanfaatan sumber daya kelautan, perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil. RUU Cipta Kerja menyamakan posisi masyarakat pesisir dengan entitas bisnis yang akan menyelenggarakan aktivitas bisnis/usaha.

“Tentu saja ketentuan ini akan mempersulit kehidupan masyarakat pesisir untuk mengakses laut dan memanfaatkan sumber daya,” kata Parid.

Tags:

Berita Terkait