UU Pelayaran Tidak Timbulkan Praktik Monopoli
Berita

UU Pelayaran Tidak Timbulkan Praktik Monopoli

Ahli berpendapat Pasal 90 ayat (3) huruf g UU Pelayaran berpotensi melanggar hak berusaha.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
UU pelayaran tidak menimbulkan praktik monopoli,<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)
UU pelayaran tidak menimbulkan praktik monopoli,<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)

Pemerintah menegaskan bahwa Pasal 90 ayat (3) huruf g UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran tidak mendorong praktik monopoli dalam usaha bongkar muat di pelabuhan.

   

“Pasal 90 ayat (3) huruf g UU Pelayaran tidak bersifat diskriminatif yang mendorong praktik monopoli seperti anggapan pemohon,” kata Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Sunaryo, saat membacakan tanggapan pemerintah dalam sidang uji materi UU Pelayaran di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Kamis (17/3).

 

Permohonan uji materi UU Pelayaran ini diajukan oleh Bambang K Rahwardi (Ketua Umum DPP Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia), Arlen Sitompul (Sekretaris Umum DPP Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia), dan HM Fuadi (Kabid Organisasi Hukum dan Otoda Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia).

 

Pemohon ini merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 90 ayat (3) huruf g UU Pelayaran. Sebab, aturan itu telah melahirkan praktik monopoli dari hulu sampai hilir kegiatan usaha di pelabuhan yang dilakukan oleh PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo).

 

Berlakunya beleid itu telah mengurangi atau menghalang-halangi peran perusahaan bongkar muat (PBM) dalam menjalankan usahanya di pelabuhan, sehingga menimbulkan ketidakpastian usaha PBM. Sebab, selama ini PBM merupakan subkontraktor dari PT Pelindo.

 

Sebab, SE Menteri Perhubungan No 6 Tahun 2002 telah salah menafsirkan PP No 56-59 Tahun 1991 yang memasukkan segmen usaha bongkar muat PT Pelindo (BUMN). Setiap PBM pun diwajibkan mengajukan permohonan kerja sama dengan PT Pelindo dan membayar biaya supervisi/konstribusi pelayanan bongkar muat yang tidak sesuai tarif jasa kepelabuhan yang diatur Kepmenhub No 72 Tahun 2005.

 

Menurut Sunaryo, ketentuan pasal tersebut justru memberikan kesempatan yang sama antara badan usaha pelabuhan (milik pemerintah) dan perusahaan bongkar muat untuk melakukan usaha jasa bongkar muat di pelabuhan.

 

Lengkapnya, Pasal 90 ayat (3) huruf g berbunyi: "Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: (g). Penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang."

 

Sunaryo mengatakan Pasal 90 ayat (3) huruf g ini juga tidak menghilangkan hak konstitusional pemohon untuk melakukan usaha bongkar muat. “Yang dialami pemohon hanya menyangkut implementasi/penerapan pasal itu, bukan menyangkut persoalan konstitusionalitas,” katanya.

   

Hal senada juga dilontarkan Martin Hutabarat yang mewakili pihak DPR dalam menanggapi permohonan uji materi UU Pelayaran ini. Ia menilai UU pelayaran tidak mengatur soal PT Pelindo, sehingga anggapan adanya monopoli adalah berlebihan.

 

Dia menegaskan bahwa Pasal 90 ayat (3) itu tidak mengatur bongkar muat, tetapi mengatur jenis usaha yang ada di pelabuhan. Karena itu, ketentuan tersebut tidak berpotensi menghilangkan hak konstitusi pemohon. Makanya, Martin berpendapat permohonan pemohon tidak beralasan hukum.

 

Bertentangan

Sementara keterangan ahli yang diajukan pemohon yakni Prof HAS Natabaya menyatakan sebaliknya. Natabaya mengatakan merujuk pada UU Pelayaran seharusnya PT Pelindo hanya menfasilitasi PBM dalam rangka pelayanan jasa bongkar muat ini. Ia menduga Pasal 90 ayat (3) huruf g ini ada frasa yang hilang.

 

“Ini tadi juga diakui pemerintah, pasal itu seharusnya ada frasa pelayanan penyediaan atau fasilitas jasa bongkar muat, meski tadi pemerintah merujuk pada Pasal 90 ayat (3) huruf i,” kata Natabaya.

 

Menurutnya, jika Pasal 90 ayat (3) huruf b, redaksinya tetap seperti itu berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) terutama hak untuk berusaha sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Sebab, tidak memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha jasa bongkar muat barang.

 

“Jika usaha ini benar-benar dikuasai PT Pelindo, maka PT Pelindo akan memonopoli usaha ini,” kata mantan hakim konstitusi itu. “Ini bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur asas demokratis dengan usaha bersama.”

Tags: