UU Pengesahan Perjanjian Internasional Tak Bisa Diuji
Berita

UU Pengesahan Perjanjian Internasional Tak Bisa Diuji

Ratifikasi perjanjian internasional dengan UU, Perpres atau Keppres adalah administrasi kenegaraan versi Indonesia.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Pengujian UU Piagam ASEAN dengan pemohon Aliansi untuk Keadilan<br> Global di Gedung MK Jakarta. Foto: SGP
Pengujian UU Piagam ASEAN dengan pemohon Aliansi untuk Keadilan<br> Global di Gedung MK Jakarta. Foto: SGP

Secara substansi ASEAN Charter yang disahkan dengan UU No 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN bukanlah wet in formele zijn (UU Formal), sehingga bukan undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK).

 

“Perpres atau Keppres yang ‘mengesahkan’ perjanjian internasional juga bukan Perpres/Keppres yang dapat digugat ke Mahkamah Agung (MA) atau PTUN,” kata Fajrul Falaakh saat memberi keterangan sebagai ahli dalam pengujian UU Piagam ASEAN yang dimohonkan Aliansi untuk Keadilan Global di ruang sidang Gedung MK Jakarta, Rabu (3/8).

 

Fajrul menegaskan menurut prosedur internal di Indonesia sebagaimana diatur UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi perjanjian internasional tidak memerlukan pengujian ke MK. “Jika MK dan MA berwenang menguji perjanjian internasional, banyak ratifikasi konvensi/perjanjian internasional berpotensi dibatalkan oleh pengadilan yang tidak tunggal,” kata Fajrul.

 

Menurutnya, tidak menjadi original intent dari Pasal 11 UUD 1945, jika perjanjian internasional dan “persetujuan” DPR (ratifikasi) terhadap perjanjian internasional disamakan dengan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 5, 20, dan 22A UUD 1945.

 

”Persetujuan DPR terhadap perjanjian internasional tidak harus disamakan dengan persetujuan bersama DPR-Presiden terhadap RUU sesuai Pasal 20 ayat (2) UUD 1945,” jelasnya.

 

Karena itu, telah terjadi error subjectum litis dalam pengujian undang-undang ini karena badan hukum publik internasional yakni ASEAN Charter diperlakukan secara formal dan materil sama dengan undang-undang yang umumnya bisa diuji ke MK.

 

Terlebih, UUD 1945 tidak memberi wewenang atau menentukan MK sebagai sebagai forum untuk menguji perjanjian internasional, seperti ASEAN Charter yang telah diratifikasi. Sebab, UU yang menjadi wewenang MK sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tidak mutatis mutandis (otomatis) sama dengan UU ratifikasi perjanjian internasional berdasarkan Pasal 11 UUD 1945.    

 

Ia menambahkan ratifikasi dengan prosedur internal berbentuk undang-undang atau Perpres/Keppres oleh Konvensi Wina 1969 disebut international act dari negara yang akan mengikatkan diri dalam suatu perjanjian internasional. “Ratifikasi perjanjian internasional dengan UU, Perpres atau Keppres adalah administrasi kenegaraan versi Indonesia,” katanya.               

 

Untuk diketahui, pengujian UU ini yang dimohonkan oleh Aliansi untuk Keadilan Global di antaranya Institute for Global Justice, Serikat Petani Rakyat, Perkumpulan INFID, Aliansi Petani Indonesia, FNPBI, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Migrant Care, Aktivis Petisi 28, Asosiasi Pembela Perempuan Usaha Kecil, Koalisi Anti Utang, Salamuddin, Dani Setiawan, dan Haris Rusli.   

 

Pasal 1 ayat (5) mengatur prinsip pasar tunggal dengan basis produksi tunggal yang berarti pelaksanaan kesepakatan perdagangan ASEAN itu harus sama (homogen). Pasal itu  yang menjadi landasan bagi ASEAN untuk melakukan perdagangan bebas dengan negara-negara di luar kawasan. Seperti ACFTA, ASEAN-Korean Free Trade Aggreement, ASEAN-Ausralian Free Trade Agreement.     

 

Mereka menilai pemberlakuan Piagam ASEAN yang menyangkut perdagangan bebas itu merugikan industri dan perdagangan nasional karena Indonesia harus tunduk dengan segala keputusan yang diambil di tingkat ASEAN.

 

Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n UU Pengesahan Piagam ASEAN karena dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

Tags: