UU Perkawinan Dinilai Ambivalen dan Diskriminatif
Berita

UU Perkawinan Dinilai Ambivalen dan Diskriminatif

Jakarta, hukumonline. UU Perkawinan dinilai ambivalen, diskriminatif, dan bias gender. Karena itu, para pembela hak-hak perempuan mengusulkan untuk meninjau kembali UU Perkawinan. Maunya mereka, perempuan disamakan dengan laki-laki.

Oleh:
Muk/APr
Bacaan 2 Menit
UU Perkawinan Dinilai Ambivalen dan Diskriminatif
Hukumonline

Prof. Abdul Gani Abdullah, Dirjen Kumdang Depkeh & HAM, mengemukakan bahwa kondisi kontemporer yang liberal saat ini, banyak menuntut perubahan perundang-undangan, termasuk juga UU Perkawinan. Namun, ia mengingatkan bahwa tuntutan perubahan ini harus dikaji dengan baik mengingat sebagian rakyat kita memang bersifat liberalistik.

Gani mencontohkan, masalah marital rape dalam RUU KUHP yang diajukan oleh beberapa lembaga pembela hak-hak perempuan. Namun, hal ini tetap kontroversial karena sebagian masyarakat menganggapnya bertentangan dengan ajaran agama tertentu.

Untuk itu, Gani mengingatkan bahwa HAM adalah hak manusia yang paling universal. Akan tetapi, pada keadaan tertentu HAM ini dapat direduksi oleh ajaran agama. "Hukum harus memperhatikan hal ini karena tidak mungkin hukum mereduksi HAM," ujarnya dalam sebuah seminar tentang UU Perkawinan.

Komitmen Indonesia

Aktifis pembela hak-hak perempuan, Nursjahbani Katjasungkana, termasuk yang banyak mengkritik UU Perkawinan. Bahkan, Direktur LBH APIK mengungkapkan bahwa UU Perkawinan ini perlu ditinjau kembali, tidak saja dalam perspektif relasi yang lebih adil bagi perempuan dan laki-laki, tapi juga dalam konteks globalisasi saat ini. "Jika tidak, akan menimbulkan berbagai persoalan yang dapat menyebabkan diintegrasi dalam masyarakat," ujarnya.

Nursjahbani menyatakan bahwa GBHN telah mengamanatkan untuk meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan  bernegara dan berbangsa untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

Nursjahbani menambahkan, komitmen ini sebenarnya sudah sejak lama dinyatakan oleh pemerintah saat meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dengan UU No 7 Tahun 1984. Komitmen-komitmen ini juga diberikan oleh Indonesia dalam hasil-hasil Konferensi Beijing pada 1995.

Dari kerangka ini, Nursjahbani berpendapat bahwa mau tidak mau segala produk hukum yang bertentangan dengan berbagai kesepakatan dan hukum internasional haruslah diubah. "Jika tidak, Indonesia akan dicap tidak memenuhi kewajiban hukumnya menurut ketentuan hukum internasional," ujar Nursyahbani.

Tags: