Nono Anwar Makarim: Bukan Kelerengnya, Tapi Permainannya
Utama

Nono Anwar Makarim: Bukan Kelerengnya, Tapi Permainannya

Saya bilang kamu ingin menyetir Mercedez..saya tunjukkan gambar-gambarnya. Saya bilang BMW juga bagus.

Oleh:
Leo
Bacaan 2 Menit
Nono Anwar Makarim: <i>Bukan Kelerengnya, Tapi Permainannya</i>
Hukumonline
Kalau kau suka barang-barang ini dan kau cerdas dan pintar kau akan dapat dan jadi lawyer yang baik. Tapi kau tidak akan jadi bintang. Kau akan jadi bintang hanya kalau ini tidak penting lagi karena kau menikmati proses, kau betul-betul terkesima pada kreativitas dalam penelitian dan pengungkapan nasihat-nasihat kepada klien. Jadi yang mesti dikejar bukan tujuannya, tapi perjalanannya. Bukan  kelerengnya..tapi permainannya.

Sebaris kata-kata di atas rutin disampaikan Nono Anwar Makarim setiap menghadapi lawyer-lawyer baru di kantor hukum Makarim Taira. Bagi mantan lawyer terkemuka di Indonesia itu, setiap usaha yang ditekuni dan dilaksanakan dengan keterbukaan akal pasti akan sukses.

Ia memang tak lagi aktif menjadi lawyer, profesi yang telah ditekuninya selama lebih dari dua puluh tahun. Ia juga tak lagi bekerja di kantor hukum yang tergolong papan atas di Indonesia itu. Setidaknya sejak 1996, Nono mengaku sudah mengundurkan diri dengan tenang dari Makarim Taira. Setelah tak lagi di sana, ia disediakan ruangan, mobil plus sopir dari Makarim Taira.

Sebelumnya (setiap mengundurkan diri) selalu ada gangguan dalam arti ada cekcok di dalam. Dan kalau ada cekcok biasanya yang rambutnya sudah putih dan sudah botak bisa menentramkan emosi dan mendamaikan orang.

Sejak 1998, Nono mencoba membesarkan Yayasan Aksara. Sejak lama ia ingin membuat sebuah think thank dimana orang-orang cerdas berkumpul, tukar pikiran, dimana mereka bisa melaksanakan semboyan aksara, yaitu membaca, berpikir, berbagi. Nyatanya, setelah enam tujuh tahun eksis, muncul lembaga-lembaga serupa seperti Freedom Institute, Indonesian Institute. Yang pada hakekatnya merupakan duplikasi dengan apa yang Aksara lakukan. Oleh karena itu saya sengaja mengecil.

Sedikit-demi sedikit Nono mengaku mulai melepaskan diri dari kegiatan aktivisme langsung. Tapi, sepertinya itu bukan perkara mudah baginya mengingat sejak tahun 1958 berbagai aktivitas ia jalani. Sebelum hijrah berprofesi sebagai lawyer, Nono juga sempat menjadi reporter dan peneliti. Kesibukan dan berbagai aktivitas itulah yang menyebabkan studinya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) baru rampung setelah 15 tahun.

Toh, pria kelahiran Pekalongan 65 tahun lalu itu sebenarnya tak merasa ditakdirkan untuk menjadi seorang lawyer. Dalam sebuah perbincangan dengan hukumonline di suatu sore, ia merasa panggilan jiwanya sebagai peneliti dan penulis. Menggeluti dunia lawyer, sejatinya bukan obsesi seorang Nono, tapi lebih keinginan ayahnya Drs. Anwar Makarim yang seorang notaris itu.

Saya ini nggak usah ngambil dua atau tiga degree di luar negeri seandainya mau praktik. Tujuan berangkat ke luar negeri, saya ingin mengajar di universitas almamater saya.

Tahun 1973 Nono berangkat ke Negeri Paman Sam. Awalnya, ia menjadi fellow researcher di Centre for International Affairs Harvard University, AS. Pengalaman yang paling membekas dirinya ketika itu adalah Harvard begitu dipenuhi oleh orang pintar. Ia merasa kalau ada orang pintar dan arogan, sebaiknya sekolah di Harvard.

Ia yakin setelah bersekolah disana akan berubah 180 derajat, dan bukan tidak mungkin menjadi rendah diri karena banyak yang jauh lebih pintar dan cemerlang disana. Ia melihat seorang profesor justru bekerja lebih keras dari mahasiswanya. Suami dari Atika Algadrie ini menuturkan, buku kuliahnya untuk materi Law International Trade di Harvard bahkan lebih tebal dibandingkan dengan diktat kuliah mulai dari program persiapan sampai sarjana di FHUI.

Suatu waktu ketika masih di Harvard karena merasa begitu banyaknya orang cerdas dan berbakat disana, ia sampai menulis surat ke ayahnya: Semua hal yang cerdas untuk dikatakan, yang perlu dikatakan, dan yang kalau dikatakan akan merubah pikiran orang, itu sudah dikatakan oleh graduate student dan bukannya oleh profesor.

Tahun 1978 Nono menyelesaikan studinya di Harvard. Disertasinya bertajuk Companies and Business in Indonesia. Apa lacur, meski mengantongi gelar master dan doktor juridical science dari Harvard Law Scool fakultas hukum yang prestisius di dunia--bukan berarti Nono bisa melenggang langsung mengajar di FHUI. Ia terhalang birokasi karena untuk menjadi dosen harus berstatus pegawai negeri. Nono langsung patah hati. Tadinya ia berharap bisa menyisihkan waktunya fifty-fifty antara mengajar dan berpraktik hukum.

Tapi, karena dasarnya berotak encer dan punya jaringan yang luas, pupus menjadi dosen, tawaran untuk dirinya mulai berdatangan. Saat itu tahun 1979 Nono memang sudah mulai meniti karier di kantor hukum milik Adnan Buyung Nasution. Di mata Nono, kantor Adnan Buyung, seandainya dikelola secara profesional akan menjadi kantor yang modern sekaligus paling besar di Indonesia.

Toh, godaan bagi Nono untuk membuka praktik sendiri makin besar. Dan hatinya luluh juga setelah Frank Taira, koleganya ketika di Harvard, mengajaknya untuk benar-benar menjalankan bisnis konsultan hukum. Makarim Taira berdiri tahun 1980.
***

Kalau ada klien kirim faks dengan problemnya, meski kita belum punya jawabannya itu wajib kita jawab. Bilang bahwa kita sudah terima you punya faks, kita sudah mengerti maksudnya dan sekarang belum bisa memberikan jawaban karena harus melakukan riset. Pada hari itu kira-kira minggu depan kita akan berikan opini. Kalau terdesak waktu dua hari sebelumnya klien akan diberi tahu. Seseorang yang punya problem dalam keadaan ‘susah' kalau jawaban begitu meyakinkan dia merasa tentram. Empati!

Prinsip di atas adalah rahasia dari praktik hukum yang selalu dipegang teguh oleh Nono ketika membesarkan Makarim Taira. Ia juga menekankan bahwa seorang klien sudah paham betul apa yang dibutuhkan. Jadi, seorang lawyer mutlak harus mengetahui jauh lebih banyak dari kliennya.

Satu prinsip lagi yang juga dipegangnya adalah menepati janji. Ia pantang melanggar janji menyelesaikan pekerjaan kepada kliennya. Prinsip ini dipelajarinya dari lawyer Australia Peter Church. Ini adalah etika dari praktik (hukum), kalau janji jam sekian mesti jam sekian..biar blood and tears.

Ketika baru keluar dari Adnan Buyung dan mendirikan Makarim Taira, ia tak pernah punya bayangan menjalankan bisnis consulting firm. Ia juga tidak bermimpi akan mendapat klien-klien besar. Pengagum komposer klasik Mozart ini mengenang, pada awal-awal berdiri kantornya, ia dan Frank bekerja di lantai dasar Gedung Widjojo Center. Sebab, ruangan kantor mereka di gedung tersebut masih ditata dan belum layak ditempati.

Tiba-tiba, ketika mereka berdua asyik mengetik, ada orang yang mengetuk kaca ruangan. Nono mengibaratkan itu dengan setan di siang bolong. Ternyata orang tersebut adalah David Lamb, Finance Director dari Bata (PT Sepatu Bata, red). Setengah kaget, Nono mengatakan tidak lagi menangani Bata dan file-file perusahaan tersebut semuanya ada di kantor Adnan Buyung. I want you to handle, kata Nono menirukan ucapan David sambil menunjuk dirinya. Bata menjadi klien pertama Makarim Taira dan  sampai sekarang, Nono dan David masih menjadi teman akrab.

Ia menampik anggapan ‘membajak' Bata untuk menjadi kliennya. Ia selalu memegang etika dan menekankan hal ini ke seluruh lawyernya--seandainya keluar dari sebuah kantor hukum, maka yang pertama harus dilakukan adalah menyurati seluruh klien.  Isinya mengucapkan terima kasih dan memberitahukan bahwa kasus atau persoalan yang mereka hadapi telah ditangani oleh lawyer lain yang kualitasnya sama baiknya. Saya berpegangan ketat sekali pada hal-hal seperti ini.

Hanya dalam waktu tak sampai setahun sejak didirikan, Nono mengisahkan, Makarim Taira mulai mengekor Mochtar Karuwin Komar (MKK). Menurutnya, saat itu eksistensi MKK menjadi standar bagi kualitas kerja sebuah kantor hukum di Indonesia. Dan dalam waktu dua sampai tiga tahun, penghasilan maupun lawyers Makarim Taira menjadi berlipat ganda.

Tapi, kondisi dan kesuksesan yang diperoleh, tidak membuat Nono merasa nyaman. Ia dan Frank justru gelisah. Sebab ini bukan pekerjaan saya. Saya ini penulis..pembaca..bukan orang yang hitung jam lalu dibayar. Kegelisahan yang sama dirasakan Frank. Nono yang mengagumi Frank karena dianggap luar biasa pintar, merasa tipe orang seperti itu harus terus dirangsang interest-nya. Mereka berdua lempar koin untuk memutuskan siapa yang mundur dari Makarim Taira saat itu. Nono kalah dan ia harus tinggal. Itu terjadi hanya dua tahun setelah Makarim Taira berdiri.

Meski Frank dan Nono sempat keluar masuk, nama Makarim Taira terus meroket. Sejumlah perusahaan besar dari dalam dan luar negeri menjadi klien mereka ketika itu.
***

Tahun 1988 di sebuah kesempatan ia mengajak koleganya untuk melihat foto dirinya diantara lawyer-lawyer Makarim Taira. Ia minta mereka melihat foto di tahun 1981 terlebih dahulu. Dan dengan mudah mereka menemukannya. Tapi begitu beralih ke tahun 1988 mereka kesulitan mengenali Nono. Tahun 1981 masih muda belia, tujuh tahun kemudian sudah (terlihat) jadi kakek. That's the price. Itu price untuk rupa saya. Belum lagi price saya tidak melihat anak-anak saya jadi besar. Jadi begitulah kira-kira.

Mungkin kalau kalimat terakhir diatas diteruskan akan menjadi, Jadi begitulah kira-kira harga sebuah kesuksesan. Meski telah meraih sukses, di usianya yang mulai senja ini, Nono masih menyimpan obsesinya untuk menulis buku. Ia berupaya mendobrak tradisi agar orang Indonesia tak sekedar menulis secuil-secuil. Menurutnya, semua buku yang ada di Indonesia lebih banyak berupa kumpulan karangan dan antologi. Saya inginnya berkesinambungan, sustain mengenai suatu masalah. Mudah-mudahan berhasil.

Untuk perbaikan perbaikan kualitas pendidikan hukum di Indonesia, Nono berharap mahasiswa fakultas hukum perlu ‘disiksa' lebih keras. Ia berharap, setidaknya mahasiswa diwajibkan untuk membaca sebanyak 100 halaman perhari. Selain itu, pengajaran legal method untuk mengajarkan bagaimana mahasiswa berargumentasi langkah demi langkah harus lebih baik.

Ditanya hal apa yang paling merisaukannya saat ini, ayah yang ketiga anaknya tidak ada satu pun mau menjadi lawyer ini awalnya tidak mau menjawab. Namun setelah sedikit didesak, setengah menahan emosi ia menjawab: Pembunuhan politik dan impunity bagi Kopassus. Baginya, pembunuhan politik bisa terjadi terhadap siapa saja, termasuk dirinya. Hanya karena anda tidak berarti maka kita bisa hidup. Begitu anda berarti, seperti Munir, Theys Eluay..mati kau dan tidak ada yang bisa menyentuh pembunuhnya.

Nono kini tak ‘bermain kelereng'. Ia sudah menikmati jerih payah bermain kelerengnya. Bagi lawyer muda dan ingin sukses, tak ada salahnya mencoba resep bermain kelereng a la Nono Anwar Makarim. Tapi boleh jadi sekarang ini lebih banyak yang tertarik sama kelerengnya ketimbang permainannya.
Tags: