Waris Pidana dalam Perkara Korupsi, Bisakah?
Utama

Waris Pidana dalam Perkara Korupsi, Bisakah?

Aturan mengenai waris pada dasarnya domain hukum perdata, maka dalam penerapan waris pidana berlaku juga asas-asas/prinsip-prinsip hukum perdata, salah satunya si ahli waris dapat menolak.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
Waris Pidana dalam Perkara Korupsi, Bisakah?
Hukumonline

 

Kalau ada waris pidana, setiap anggota keluarga tentunya akan mempunyai kepentingan untuk mencegah anggota keluarga lainnya melakukan korupsi,

 

Pembuktian

Prof. Muladi dalam acara yang sama berpendapat, pada prinsipnya suatu pidana tidak dapat diwariskan. Namun begitu, waris pidana dapat saja diterapkan apabila memang ada dugaan keras dan kemudian dapat dibuktikan ada anggota keluarga yang turut menikmati hasil korupsi.

 

Gubernur Lemhanas ini juga menyarankan agar penerapan waris pidana dilakukan secara hati-hati. Mengingat aturan mengenai waris pada dasarnya menjadi domain hukum perdata, maka dalam penerapan waris pidana berlaku juga asas-asas/prinsip-prinsip hukum perdata.

 

Salah satunya adalah si ahli waris dapat menolak apa yang diwariskan kepadanya, ujar Prof. Muladi memberikan contoh.       

 

Pendapat Prof. Muladi diamini oleh salah seorang ahli yang turut merumuskan UU No. 31/1999, Prof. Andi Hamzah. Dia mengakui konsep uang pengganti kerugian negara dalam UU Korupsi memang diadopsi dari hukum perdata.

 

Kuncinya ada di jaksa, dia harus mampu membuktikan bahwa si ahli waris turut menikmati hasil korupsi, misalnya dengan akta notaris atau putusan pengadilan mengenai pembagian warisan, jelas Prof. Andi.

 

Terobosan

Menanggapi hal ini, Achyar berpendapat mengingat tipikor adalah tindak pidana khusus, maka dapat dikatakan wajar apabila penerapan UU Korupsi menyimpang dari asas/prinsip yang berlaku umum. Menurut Achyar, UU Korupsi pada kenyataan telah melakukan penyimpangan-penyimpangan yang dimaksud.

 

Misalnya, UU Korupsi memungkinkan suatu badan hukum menjadi subyek hukum atas suatu tindak pidana. Padahal, berdasarkan KUHP, suatu badan hukum tidak dapat dijadikan sebagai subyek hukum atas suatu tindak pidana.

 

Ini salah satu penyimpangan asas, kilahnya. Achyar memandang penerapan waris pidana dalam perkara korupsi harus dipandang sebagai suatu terobosan dalam merespon tindak pidana yang semakin canggih.

Tidak ada seorang pun yang memungkiri betapa bahaya dan seriusnya dampak yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi (tipikor). Dampak tipikor tidak hanya membuat Indonesia secara ekonomi semakin terpuruk, tetapi juga mengakibatkan rakyat menderita. Atas dasar inilah kemudian muncul terobosan penerapan waris pidana.

 

Walaupun tidak secara tegas menyebut waris pidana, UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya telah memuat aturan mengenai hal ini. Berdasarkan Pasal 33, apabila seorang tersangka korupsi meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau instansi yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

 

Selanjutnya dalam Pasal 34 dinyatakan apabila seorang terdakwa korupsi meninggal dunia pada saat proses pengadilan tengah berjalan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka JPN atau instansi yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

 

Nyaris mustahil kalau hasil korupsi tidak sampai masuk ‘kamar tidur' si koruptor, demikian pendapat Achyar Salmi, pengajar tipikor Fakultas Hukum UI (FHUI), dalam acara Ceramah Hukum Pidana Same Root, Different Development di Kampus FHUI, Depok.

 

Achyar yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan bidang Non-Akademik FHUI, menyatakan mendukung sepenuhnya penerapan waris pidana. Dengan menerapkan waris pidana, lanjutnya, maka akan tumbuh suatu mekanisme internal dari keluarga agar seseorang tidak melakukan korupsi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: