Ihza & Ihza Sama Kebalnya dengan Yusril?
Oleh: Amrie Hakim*

Ihza & Ihza Sama Kebalnya dengan Yusril?

Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra, baru-baru ini tergusur dari Istana. Ikut tersingkir bersama Yusril dalam reshuffle jilid dua Kabinet Indonesia Bersatu adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaludin. Sulit untuk tidak menghubungkan pencopotan Yusril dan Hamid dengan kasus pencairan dana Tommy Soeharto senilai US$ 10 juta dari Banque Nationale de Paris Paribas, London, pada 2004.

Bacaan 2 Menit
Ihza & Ihza Sama Kebalnya dengan Yusril?
Hukumonline

 

Seperti telah banyak diberitakan, yang menjadi sorotan dalam kasus ini adalah Ihza & Ihza yang mengurus pencairan dana Tommy di BNP Paribas London. Ihza & Ihza adalah kantor hukum yang didirikan Yusril. Adapun yang aktif mengurus pencairan dana Tommy di London adalah Hidayat Achyar, advokat yang juga senior partner di Ihza & Ihza..

 

Meski berstatus founding partner, Yusril sebenarnya bukan advokat sebagaimana dimaksud UU Advokat. Demikian pula dengan Yusron Ihza yang juga tercatat sebagai founding partner. Hal itu telah dikonfirmasi oleh pihak PERADI. Wakil Sekretaris PERADI, Hasanuddin Nasution, seperti dikutip Koran Tempo (13 Maret 2007), menyatakan Yusril-Yusron belum memiliki izin advokat dari PERADI. Dari sini kemudian timbul pertanyaan, mengapa pihak yang bukan advokat dapat mendirikan kantor advokat?

 

Di dalam UU Advokat memang tidak tersedia aturan atau definisi yang khusus mengenai kantor advokat. Definisi kantor advokat baru ditemukan dalam peraturan pelaksana UU Advokat yaitu Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.11-HT.04.02 Tahun 2004 (Kepmen No. M.11/2004). Pada Pasal 1 ayat (4) Kepmen No. M.11/2004 dijelaskan bahwa: Kantor Advokat Indonesia adalah suatu persekutuan perdata (maatschap) yang didirikan oleh para Advokat Indonesia yang mempunyai tugas memberikan pelayanan jasa hukum kepada masyarakat.

 

Selain itu, definisi tentang kantor advokat juga dapat ditemui dalam Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peraturan PERADI No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat (Juknis). Di dalam Angka 1 huruf a Juknis tersebut disebutkan bahwa: Kantor Advokat adalah kantor yang didirikan oleh seorang atau lebih Advokat yang memberi jasa hukum sebagaimana dimaksud dalam UU Advokat dan para pendirinya terdaftar sebagai anggota PERADI.

 

Dari kedua peraturan tersebut cukup jelas bahwa kantor advokat hanya dapat didirikan oleh advokat. Sesuai Pasal 1 Angka (1) UU Advokat, yang dimaksud dengan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.

 

Jadi, cukup jelas pula bahwa Ihza & Ihza tidak memenuhi syarat yang diatur dalam kedua peraturan tersebut karena Yusril dan Yusron sebagai pendirinya bukanlah advokat seperti telah dikonfirmasi oleh PERADI. Tapi, mengingat kedua peraturan tersebut tidak mengatur sanksi terhadap pelanggaran seperti itu, maka baik pemerintah ataupun PERADI tidak bisa menyentuh Yusril.

 

Terlebih lagi, selama menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM dan sebagai Mensesneg Yusril tidak aktif di kantor hukumnya. Namun, Yusril secara terus terang mengatakan bahwa dirinya tetap mendapat dividen sebagai salah satu pemilik firma hukum itu (Koran Tempo, ibid). Setelah tidak lagi menjadi pejabat negara, bukan tidak mungkin Yusril melirik untuk kembali aktif di Ihza & Ihza.

 

Seandainya Yusril yang bukan advokat kembali aktif dan memberikan jasa hukum, lagi-lagi pelanggaran yang demikian tidak diancam dengan pidana. Karena, ketentuan pidana Pasal 31 UU Advokat telah dinyatakan tidak berkekuatan hukum oleh Mahkamah Konstitusi sejak 2004. Sebelumnya, pasal tersebut memberikan ancaman bagi setiap orang yang bukan advokat tapi bertindak seolah-olah advokat dengan pidana penjara lima tahun dan denda Rp 50 juta.

 

PERADI bidik advokat lain di Ihza & Ihza

Berbeda dengan Yusril, advokat-advokat yang bekerja di Ihza & Ihza belakangan ini menjadi bidikan PERADI. Sekretaris Jenderal PERADI, Harry Ponto, seperti dikutip hukumonline.com (24 April 2007), mengatakan bahwa PERADI melalui Dewan Kehormatannya akan meminta klarifikasi dari advokat yang bekerja di Ihza & Ihza.

 

Pemanggilan yang akan dilakukan PERADI terhadap seorang atau lebih advokat yang bekerja di Ihza & Ihza boleh jadi terkait dengan dugaan pelanggaran KEAI. Seperti diketahui, di dalam Pasal 8 huruf d KEAI disebutkan bahwa: Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang bukan Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya sebagai Advokat.

 

Ketentuan Pasal 8 huruf d KEAI setidaknya mengandung dua unsur yaitu pencantuman nama orang yang bukan advokat di papan nama kantor advokat dan memperkenalkan orang yang bukan advokat sebagai advokat. Dan karena ketentuan hukum dalam pasal itu bersifat alternatif, maka melanggar salah satu dari kedua unsur itu berarti sudah melanggar ketentuan Pasal 8 huruf d tersebut.

 

Pertama, tentang pencantuman nama orang yang bukan advokat. Dalam kasus ini, sah-sah saja bila diasumsikan bahwa nama Ihza & Ihza adalah sekadar merek dan tidak merujuk pada satu atau lebih orang (atau advokat) yang bekerja di kantor itu. Tapi, yang sulit ditampik adalah kenyataan ada dua orang yang bernama Ihza di kantor itu. Begitu pula fakta bahwa sebelumnya kantor itu benama Yusril Ihza Mahendra & Partners, kemudian setelah Yusron Ihza bergabung, namanya menjadi Ihza & Ihza. Ditambah lagi pengakuan Yusril bahwa dia pemegang saham di sana.

 

Kedua, mengenai tindakan memperkenalkan orang yang bukan advokat sebagai advokat. Dari company profile yang dapat diunduh (download) dari situs www.ihza-ihza.com (file ada pada penulis) Yusril dan Yusron diperkenalkan sebagai founding partner. Di sana juga disebutkan bahwa bidang praktik (area of practice) Yusril meliputi; comparative law, administrative law, legislative practice, government relations, parliamentary relations, intellectual property rights, alternative dispute resolutions. Di dalamnya juga dijelaskan bahwa Yusril sedang tidak aktif karena penunjukkannya sebagai Menteri Sekretaris Negara.

 

Tapi, informasi tersebut tidak akan anda temukan lagi dalam company profile Ihza & Ihza yang terbaru. Sejauh pengetahuan penulis, profil tersebut diganti saat kasus yang menyeret Yusril dan kantor hukumnya sedang panas-panasnya menjadi pemberitaan di berbagai media. Hal-hal tersebut mungkin termasuk yang perlu diklarifikasi oleh PERADI kepada advokat yang bekerja di Ihza & Ihza.

 

Advokat pejabat dan nama kantor

Sebetulnya ada satu aspek lagi yang menonjol dalam kasus Ihza & Ihza ini, yaitu soal larangan advokat yang diangkat menjadi pejabat negara untuk mencantumkan atau menggunakan namanya oleh kantornya atau siapapun. Larangan demikian diatur dalam Pasal 3 huruf i KEAI. Larangan tersebut senafas dengan Pasal 20 ayat (3) UU Advokat yang berbunyi: Advokat yang menjadi pejabat negara tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut. Tapi, lagi-lagi larangan tersebut menjadi tidak relevan mengingat Yusril bukan advokat.

 

Lepas dari kasus Ihza & Ihza, dalam praktiknya larangan tersebut tidak sepenuhnya diindahkan oleh kalangan advokat sendiri. Memang benar ada advokat yang saat diangkat menjadi pejabat negara langsung mengganti nama kantornya. Tapi, tidak sedikit juga advokat yang sudah lama mengemban tugas sebagai pejabat negara, tapi nama yang bersangkutan masih saja digunakan sebagai nama kantornya.

 

Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat sudah pada tempatnya PERADI meminta klarifikasi dari advokat yang bekerja di Ihza & Ihza karena telah ada cukup indikasi bahwa kantor tersebut melanggar UU Advokat dan KEAI. Dengan tetap berprasangka baik pada advokat yang bekerja di kantor tersebut, agak sulit untuk menerima bahwa mereka tidak mengetahui rambu-rambu yang ada di dalam UU Advokat dan KEAI seperti telah dikemukakan di atas.

 

Katakanlah Ihza & Ihza didirikan sebelum UU Advokat disahkan, bukankah sudah seharusnya advokat di kantor tersebut memberikan pendapat hukum kepada para pemegang sahamnya untuk menyesuaikan diri dengan ketika undang-undang tersebut mulai berlaku? Kalaupun pendapat mereka terlalu lemah untuk didengar dan diikuti oleh pemegang saham Ihza & Ihza, bukankah dengan demikian pembiaran mereka terhadap pelanggaran undang-undang dan kode etik tersebut merupakan pelanggaran tersendiri?

 

Berkaitan dengan kasus Tommygate, advokat Ihza & Ihza harus dapat membuktikan bahwa kemudahan dalam mengurus pencairan dana Tommy bukan karena posisi Yusril sebagai Menkumdang (sekaligus ketika berstatus mantan Menkumdang yang sedikit banyak masih berpengaruh di departemen tersebut) dan Mensesneg.

 

Dalam wawancara dengan hukumonline (13/3/07), Hidayat Achyar mengatakan permintaan opini hukum untuk urusan pencairan dana Tommy ke Depkumdang saat dipimpin Yusril adalah kebetulan belaka. Jawaban itu boleh-boleh saja dilontarkan Ihza & Ihza. Karenanya, publik juga boleh-boleh saja mengatakan kebetulan menterinya pemegang saham Ihza & Ihza dan kebetulan dananya US$ 10 juta (+ Rp 90 miliar), tapi bukan kebetulan kalau uang jasanya bisa semakin memakmurkan kantor dan pemegang sahamnya.

 

Jika sampai dengan saat ini publik beranggapan Yusril nyaris tak tersentuh hukum terkait kasus Tommygate, apakah demikian halnya dengan Ihza & Ihza dan advokat-advokat di dalamnya?


* Bekerja di Perhimpunan Advokat Indonesia dan pengasuh blog http://amriehakim.blogspot.com. Tulisan ini pendapat pribadi penulis.

Seperti telah banyak diberitakan, transfer dimulai saat Yusril menjadi Menteri Hukum dan Perundang-undangan (Menkumdang) dan berlanjut saat ia digantikan Hamid. Kasus Tommygate sangat menyedot perhatian publik luas karena melibatkan sejumlah pejabat dan lembaga penting. Ditambah lagi, kasus tersebut juga bersifat multidimensi karena diduga menyangkut hukum administrasi negara, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana korupsi, dan juga praktik advokat.

 

Meski demikian, artikel ini membatasi diskusi seputar kasus Tommygate dari sudut pandang praktik advokat. Karenanya, penulis sedapat mungkin menganalisis kasus ini berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), peraturan pelaksana UU Advokat, Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), serta peraturan yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

Tags: