Eksekusi Duit Seceng Pun Harus dengan Aanmaning
Berita

Eksekusi Duit Seceng Pun Harus dengan Aanmaning

Pegang putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap bukan jaminan eksekusi bakal semudah membalik telapak tangan. Adakalanya ada perlawanan hukum baik secara terang-terangan maupun tidak.

Oleh:
Mys/Ali
Bacaan 2 Menit
Eksekusi Duit <i>Seceng</i> Pun Harus dengan <i>Aanmaning</i>
Hukumonline

 

Masa sih? Bisa jadi benar. Sebab, berdasarkan penelusuran hukumonline, pada 25 Juli lalu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan teguran alias aanmaning kepada Securindo. Dalam penetapan yang ditandatangani Ketua PN Jakarta Pusat Cicut Sutiarso itu, tergugat Securindo diminta datang menghadap pada Selasa 31 Juli mendatang. Supaya dalam tenggang waktu 8 (delapan) hari terhitung sejak hari dan tanggal teguran/peringatan yang diberikan kepadanya untuk memenuhi kewajibannya kepada pemohon eksekusi, begitu antara lain bunyi surat teguran.

 

Ironisnya. Biaya yang dikeluarkan untuk mengurus surat aanmaning itu jauh dari duit yang mau dieksekusi. Bayar meterai saja sudah Rp6.000. Belum lagi biaya redaksi sebesar Rp3000, dan biaya pencatatan sebesar Rp10.000. Total yang harus dibayar adalah Rp19.000. Belum lagi dihitung biaya transport yang harus dikeluarkan kedua belah pihak bolak balik ke PN Jakarta Pusat.

 

Kebiasaan buruk

Sosiolog hukum Prof. Soetandyo Wignyosoebroto mengakui feomena seseorang tidak menghormati putusan pengadilan memang sering terjadi. Itu bagian dari mengulur waktu, ujarnya.

 

Terkait kasus di atas, Soetandyo hanya melihatnya sebagai bentuk penolakan dan pembantahan saja. Mungkin ada tanda-tanda semacam pengingkaran terhadap putusan, tandasnya.

 

Namun, Soetandyo menolak bila fenomena tidak menjalankan putusan pengadilan  dianggap sebagai budaya hukum yang ada di Indonesia. Terlalu jauh bila dibilang sebagai suatu budaya. Itu hanya suatu kebiasaan buruk saja, ujarnya.

 

Untuk mengubah kebiasaan yang buruk itu, Soetandyo mengakui memang agak sulit. Tetapi ia lebih setuju pendekatan hukum tetap digunakan. Ya memang harus ditegur, ujarnya.

 

Coba ingat kembali pengalaman PT Porta Nigra yang sudah memenangkan gugatan perdata sengketa lahan di Meruya Selatan, Jakarta Barat. Terlepas adanya kekeliruan pengadilan dalam memutus perkara ini dulu, eksekusinya ternyata seret. Ada perlawanan dari warga yang ternyata sudah memiliki sertifikat hak milik dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPN).

 

Luas lahan yang bakal dieksekusi memang cukup menggiurkan. Apatah lagi kalau dikalkulasi ke nilai mata uang. Rupiah yang menggelontor kalau lahan sengketa Meruya Selatan dijual pasti puluhan miliar.  Semakin besar nilai objek gugatan, relatif semakin sulit mengeksekusinya. Namun nilai jual objek gugatan bukan satu-satunya faktor. Dalam kasus Meruya, jumlah pihak yang menempati lahan sudah ribuan orang, sehingga eksekusinya pun akan semakin sulit.

 

Sebaliknya, tidak ada jaminan bahwa nilai gugatan yang kecil mudah dieksekusi. Belum tentu tergugat dengan sukarela memenuhi kewajiban yang telah diputuskan hakim. Mendapatkan ganti rugi yang nilainya cuma ratusan ribu, puluhan ribu, malah seribu rupiah yang sudah diputuskan pengadilan masih membutuhkan upaya hukum seperti minta surat teguran dari pengadilan.

 

Setidaknya, begitulah yang terjadi dalam proses gugatan David ML Tobing terhadap Securindo Packatama Indonesia. Merasa dirugikan sebagai konsumen, dalam gugatannya, David minta ganti rugi seribu rupiah kepada perusahaan jasa perparkiran itu. Pengadilan mengabulkan. Terakhir, Mahkamah Agung menolak kasasi Securindo. Putusan kasasi diucapkan pada 26 Januari 2006.

 

Ketika dikonfirmasi hukumonline tak lama setelah putusan MA turun, pengacara Securindo Fifi Lety Indra sudah menegaskan kliennya akan membayar ganti rugi seribu rupiah tersebut. Tetapi David mengaku hingga 24 Juli lalu, eksekusi atas duit seribu rupiah itu belum berjalan. Saya belum terima, ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: