Ketika Singapore Airlines Digugat Penumpangnya
Utama

Ketika Singapore Airlines Digugat Penumpangnya

Dinilai tidak mempedulikan nasib penumpang yang menjadi cacat karena kecelakaan pesawat, Singapore Airlines dituntut ganti rugi hingga mencapai lebih kurang Rp311 miliar.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Ketika <i>Singapore Airlines</i> Digugat Penumpangnya
Hukumonline

 

Nilai ganti rugi yang dituntut itu dirinci dalam gugatan. Alfarisi menyebutkan hilang atau rusaknya barang penggugat akibat kecelakaan, tak dapat digunakannya tiket yang sudah dibeli dan hilangnya tunjangan akomodasi mengakibatkan Sigit merugi hingga AS$31,9 ribu. Sementara ganti rugi sebesar Rp25 juta timbul akibat biaya pemeriksaan dan perawatan kesehatan di Indonesia. Sedangkan Rp1,4 milyar dituntut  sebagai kompensasi atas hilangnya kesempatan Sigit menjadi pimpinan grup perusahaan tempat ia bekerja karena trauma yang dialaminya.

 

Dalam gugatan disebutkan, peristiwa nahas bermula ketika Sigit membeli tiket pesawat dengan rute Jakarta-Singapore-Los Angeles-Houston-Las Vegas-Singapore-Jakarta. dengan jadwal keberangkatan dari Jakarta pada 31 Oktober 2000 dan sampai di Jakarta kembali pada 8 November 2000. Untuk tiket itu, Sigit harus merogoh kocek sebesar AS$4.749.

 

Pada saat pesawat hendak terbang setelah melakukan persinggahan sementara di Taiwan, terjadilah kecelakaan itu. Menurut penggugat, kecelakaan itu diakibatkan oleh kelalaian pilot yang tetap take off di jalur yang sedang mengalami perbaikan (under construction). Tak ayal lagi, kecelakaan pun terjadi dengan menelan 82  korban, termasuk 4 crew pesawat, meninggal dunia.

 

Upaya untuk menuntut ganti rugi terus diperjuangkan penggugat. Mulai dari melakukan negosiasi langsung dengan SA sampai dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Pada tahun 2001, Sigit bersama-sama korban yang lain pernah mengajukan gugatan di Amerika Serikat (AS). Namun kandas karena terbentur kompetensi absolut. Pengadilan Amerika menyarankan agar penyelesaian perkara dilakukan oleh pengadilan di Indonesia atau Singapura.

 

Atas saran pengadilan Amerika itu, penggugat akhirnya bersama-sama mengajukan gugatan lagi ke pengadilan Singapura. Namun karena ia trauma bepergian menggunakan pesawat, maka Sigit urung datang ke pengadilan untuk menyampaikan pengakuan tersumpah (affidavit). Walhasil, gugatan Sigit pun digugurkan pengadilan Singapura.

 

Besaran ganti rugi yang dituntut oleh penggugat, nampaknya membuat pihak tergugat gusar. Pasalnya, menurut Wahyu Hargono, kuasa hukum SA dari kantor hukum Karimsyah, mengacu pada ketentuan Konvensi Warsawa 1929, besaran ganti rugi yang dapat diterima hanya sebesar AS$20 ribu.

 

Jumlah ganti rugi yang dituntut penggugat sangat mengada-ada dan di luar kewajaran. Di dalam Konvensi Warsawa disebutkan mengenai tanggung jawab mutlak (strict liability) maskapai penerbangan untuk memberikan ganti rugi sebesar AS$20 ribu. Tapi nyatanya penggugat menuntut lebih dari itu, kata Wahyu.

 

Pihak SA sendiri, tambah Wahyu, bukannya melepaskan  tanggung jawab. Biaya pengobatan dan perawatan sudah dibayarkan. Bahkan (SA, red) juga sudah memberikan sejumlah uang ke semua penumpang. Jadi pernyataan penggugat tidak berdasar, Wahyu berujar.

 

Lebih jauh Wahyu menjelaskan, justru penggugat tidak mau menerima uang yang ditawarkan oleh SA. Penggugat menolak uang yang ditawarkan Singapore Airlines dengan alasan uang itu tidak cukup dan tidak sesuai dengan kerugian yang ditanggungnya. Di sisi lain, kami menilai jumlah ganti rugi yang dituntut penggugat sangat tidak wajar. Masak potensi kerugian diperhitungkan sebagai kerugian materil? cetusnya.

 

Selain itu, Wahyu menilai gugatan penggugat tidak tepat karena sudah pernah diputuskan oleh pengadilan Singapura (ne bis in idem). Tidak hanya itu. Kami juga menilai gugatan penggugat salah alamat. Kalau yang digugat adalah Singapore Airlines, kenapa ditujukan ke kantor perwakilan di Jakarta? Bukan ke kantor pusat di Singapura, tandasnya.

 

Tergantung penilaian hakim

Sementara dihubungi terpisah, K. Martono, pakar Hukum Penerbangan menyatakan, Konvensi Warsawa 1929 memang menyebutkan jumlah nominal uang yang harus diberikan maskapai kepada penumpangnya ditentukan besarannya. Berdasarkan Pasal 22 Konvensi Warsawa, jumlahnya adalah 125 ribu francs Perancis atau setara dengan AS$20 ribu, jelasnya.

 

Namun demikian, lanjut pengajar STMT Trisakti Jakarta ini, pada praktiknya di persidangan hakim dapat memutuskan lebih dari ketentuan konvensi itu. Itu tergantung pada penilaian hakim atas hukum dan rasa keadilan dalam perkara ini. Terutama jika penggugat mampu membuktikan bahwa kecelakaan pesawat terjadi karena kesalahan maskapai penerbangan (willful misconduct), maka maskapai harus membayarkan ganti rugi yang diminta oleh penggugat, tandasnya.

Tanggal 31 Oktober 2000 mungkin akan menjadi hari yang tak akan terlupakan bagi Sigit Suciptoyono. Betapa tidak, pada hari itu, ia hampir saja dijemput maut dalam sebuah kecelakaan pesawat di Bandara Chiang Kai Sek, Taiwan. Meski selamat, kini ia terpaksa hidup dengan tubuh yang tidak lagi normal. Luka bakar menyebabkan tak berfungsinya jari dan tangan kanannya.

 

Sigit adalah salah seorang penumpang pesawat Singapore Airlines (SA) yang hendak bertolak menuju Los Angeles dari Jakarta. Namun saat hendak lepas landas selepas transit di Bandara Chiang Kai Sek, pesawat itu mengalami kecelakaan hebat. Tubuh pesawat terpotong menjadi tiga bagian dan para penumpang terjebak dalam kobaran api.

 

Tujuh tahun berlalu, Sigit harus menjalani hidupnya dengan cacat permanen di tubuhnya. Tidak hanya itu, cedera kepala yang dideritanya, terkadang mengakibatkan sakit kepala yang hebat dan terus berulang. Secara psikis, Sigit mengaku trauma, tak lagi berani menumpang pesawat.

 

Ironisnya, menurut Muchamad Alfarisi, kuasa hukum Sigit dari kantor hukum Sani Aminoeddin & Partner, hingga saat ini SA tidak pernah memberikan penggantian sepeser pun atas musibah yang menimpa kliennya itu. Akhirnya Sigit pun melayangkan gugatan terhadap SA di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

 

Kami menuntut agar Singapore Airline membayar ganti rugi materil sebesar AS$31,9 ribu dan Rp25 juta plus Rp1,4 milyar. Selain itu, kami juga menuntut ganti rugi sebanyak Rp10 milyar sebagai kompensasi atas penderitaan penggugat yang terus berkepanjangan, tutur Alfarisi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: