Negara Harus Intervensi Olahraga
Berita

Negara Harus Intervensi Olahraga

Olahraga dianggap masuk ke dalam hak ekonomi, sosial dan budaya. Dimana, dalam perspektif HAM, negara harus ikut berperan didalamnya. Berbeda dengan hak sipil dan politik yang harus lepas dari intervensi negara.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Negara Harus Intervensi Olahraga
Hukumonline

 

Pada sidang yang sama, Ketua KONI Sumatera Utara Gus Irawan menilai dilibatkannya pejabat publik atau struktural ke dalam pengurusan KONI akan membuat pengawasan menjadi semakin rancu. Ia mengatakan tugas pemerintah, dalam hal ini adalah bertindak sebagai pengawas. Akan menjadi aneh, bila pemerintah ikut-ikutan untuk melaksanakan. Masak yang melaksanakan dan mengawasi sama, ujarnya. 

 

Pandangan Hesti bukan tanpa resiko. Adhayksa mewanti-wanti kalau pikiran Hesti diterima, maka Menpora pun bisa campur tangan terhadap KONI. Buat saya pribadi, saya bisa masuk ke KONI dong, kritik Adhyaksa bila permohonan ini dikabulkan. Padahal,  Pasal 32 ayat (2) UU Olahraga menyatakan Pemerintah menentukan kebijakan nasional, standar keolahragaan nasional, serta koordinasi dan pengawasan terhadap pengelolaan keolahragaan nasional.

 

UU No. 10/2004

Ketua Program Pascasarjana FH Universitas Kristen Indonesia (UKI) John Pieris malah menilai pembentukan UU Olahraga ini tak sesuai dengan kaidah yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Baik dari asas maupun materi muatannya, jelasnya dalam kapasitas sebagai ahli dari pemohon. 

 

John menilai ada ketidaksesuaian antara Pasal 36 ayat (3) dengan Pasal 40 UU Olahraga. Pasal 36 ayat (3) menyatakan induk organisasi cabang olahraga dan komite olahraga nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mandiri. Karena itu Pieris mempertanyakan, mengapa larangan pejabat publik terlibat hanya sebatas pada KONI, tidak pada induk cabang olahraga. UU Olahraga memang tidak melarang pejabat publik menjadi pengurus cabang olahraga.

 

Prof. Toho Cholik Mutohir menjelaskan perbedaan antara KONI dengan cabang olahraga. Menurut ahli dari pemerintah ini, tugas KONI adalah untuk membantu pemerintah. Sedangkan tugas cabang olahraga adalah membina dan mencapai prestasi. Tugas dari pengurus cabang olahraga lebih mudah dari pengurus KONI. Cakupan KONI lebih luas karena mengkoordinasikan seluruh cabang olahraga yang ada di Indonesia, tambahnya.

 

Pasal 40 UU Olahraga, lanjut Toho, memang dibuat dengan pertimbangan beban kerja pejabat publik. Agar waktunya lebih banyak untuk pelayanan masyarakat. tidak melulu mengurusi olahraga, ujarnya. 

 

Namun, argumen Toho ini juga menimbulkan celah. John menilai, jika seperti itu dasar pertimbangannya, dikhawatirkan pejabat publik tidak akan netral. Dia hanya akan fokus pada satu cabang olahraga saja, ujarnya. Isu ini memang sempat mencuat, ketika beberapa cabang olahraga merasa cemburu dengan sepakbola yang mendapat pasokan dana dari APBD yang cukup banyak.

 

Tak ada di UU lain

Selain itu, John juga mengkritik larangan rangkap jabatan ini yang hanya terdapat di UU Olahraga saja. Larangan itu tidak ditemukan di UU Susduk dan UU Pemda, ujarnya. Padahal, untuk yang berkaitan jabat menjabat, UU Susduk dan UU Pemda dinilai John lebih pokok dibanding UU Olahraga.

 

John menilai UU Olahraga tidak sinkron jika dibanding dengan kedua UU itu. Ini catatan penting untuk UU Olahraga, ujarnya. Seharusnya ada aturan yang sama sehingga ditemukan sinkronisasi antara jabatan struktural, katanya.

 

Namun, Toho mengungkapkan laranga rangkap jabatan bukanlah hal yang baru. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 untuk Pemerintah Daerah (UU Pemda) sudah mencontohkannya. Toho mengutip Pasal 54 ayat (1) dan (2)

 

Pasal 54 UU 32/2004

(1) Anggota DPRD dilarang merangkap jabatan sebagai:

a.      pejabat negara lainnya;

b.      hakim pada badan peradilan;

c.      pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pegawau pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN atau APBD.

(2) Anggota DPRD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat/pengacara, notaris, dokter praktik dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPRD.

 

Menariknya, bila melihat Pasal 54 ayat (1) huruf c ............ badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN dan APBD, si pemohon yang merupakan Ketua Komisi E DPRD Jatim seharusnya tak hanya dilarang menjadi pengurus KONI, tapi juga pengurus cabang olahraga. Seperti diketahui bersama, sumber pendanaan cabang olahraga di daerah memang sering mengandalkan dana APBD.

 

Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menegpora) Adhyaksa Dault panas. Ahli pemohon dari Komnas HAM, Hesti Armiwulan yang menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU Olahraga) melanggar HAM karena diskriminatif, dinilainya mengada-ada. UU Olahraga ini bukan diskriminatif, tapi regulatif, ujar mantan Ketua KNPI ini dengan nada tinggi, di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (31/1).

 

Perdebatan mengenai UU Olahraga diskrimitif atau bukan, memang selalu mencuat pada sidang uji materi UU Olahraga. Adalah Ketua Umum KONI Surabaya Saleh Ismail Mukadar yang mengajukan permohonan pengujian tersebut. Saleh menilai ketentuan Pasal 40 UU Olahraga yang melarang pejabat publik dan struktural menjadi pengurus komite olahraga baik nasional maupun daerah bersifat diskriminatif.  

 

Dalam pandangan ahli Hesti Armiwulan, ketentuan pasal 40 tadi membuat negara kesulitan mencampuri urusan olahraga, terutama di Komite Olahraga Nasional. Alasannya, pejabat publik atau struktural, dinilainya sebagai representasi dari negara. Ini tak sejalan dengan perspektif hak asasi manusia (HAM), ujarnya.

 

Dosen Universitas Surabaya ini menjelaskan beberapa hak yang mesti diintervensi negara. Contohnya, adalah hak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam perspektif HAM, Pemerintah atau negara harus intervensi seluas-luasnya. Olahraga masuk ke dalam kategori tiga hak tersebut. Sehingga ketiga hak itu baru akan terpenuhi bila semakin besar campur tangan pemerintah.

 

Hesti, yang saat ini menjabat Wakil Ketua Komnas HAM, mengakui ada hak-hak yang tak boleh diintervensi pemerintah. Di antaranya adalah hak sipil dan politik. Itu hak negatif. Kewenangan negara sebisa mungkin dikurangi untuk pemenuhan hak sipil, ujarnya lagi. Tetapi untuk olahraga, negara harus ikut campur tangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: