Nikah di Philadelphia, Cerai di Jakarta
Berita

Nikah di Philadelphia, Cerai di Jakarta

Suami istri warga negara Amerika yang sudah lebih dari tujuh tahun tinggal di Indonesia berperkara cerai di pengadilan Indonesia. Istri minta supaya meja hijau Indonesia menceraikan dengan mengacu pada UU Perkawinan dan membagi harta menurut hukum Philadelphia. Suami menolak urusan rumah tangganya itu diadili di negeri orang.

Oleh:
NNC
Bacaan 2 Menit
Nikah di Philadelphia, Cerai di Jakarta
Hukumonline

 

Berbekal Marriage Certificate yang dikeluarkan otoritas Philadelphia, Rembulan mengajukan gugat cerai ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Pada 1997, sebelum pindah ke Indonesia Rembulan dan suaminya, Joki, menikah di negara bagian Philadelphia Amerika Serikat. Entah kenapa, pada pertengahan 2007,  setelah lebih dari tujuh tahun tinggal bersama di Indonesia, kedua pasangan itu ribut.

 

Ujung percek-cokan, pada Agustus 2007, Rembulan melaporkan Joki ke Kepolisian dengan dugaan melakukan tindak kejahatan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tindak lanjut perkara KDRT inilah yang menjadi bekal Rembulan mengajukan gugatan cerai. Pun begitu, sebelum rembulan mengajukan gugatan, atas kasus KDRT itu, PN Jaksel sudah mengeluarkan penetapan pengalihan sementara hak asuh anak kepada Rembulan.

 

Dalam gugatan bernomor 47/PdtG/2008/PN Jaksel tersebut, Rembulan meminta PN Jaksel menceraikan dirinya menggunakan ketentuan Undang-Undang Perkawinan (UU 1/1974). Ia meminta majelis hakim memberikan hak asuh terhadap Mawar—buah hati hasil perkawinannya dengan Joki. Selain itu, ia juga meminta majelis menentukan status harta gono-gini, baik untuk harta di Indonesia maupun sebuah rumah yang berada di Philadelphia.

 

Joki menolak menyelesaikan perkara rumah tangganya di Indonesia. Kuasa Hukum Joki, Suhendra Asido Hutabarat dari kantor hukum Lie Hutabarat & Partners mengatakan, pengadilan Indonesia tidak berwenang mengadili perkara kliennya. Selain melayangkan eksepsi kewenangan absolut, Joki menggugat balik Rembulan. Ia meminta agar majelis mengembalikan Mawar kepada Joki.

 

Menurut Asido, dua orang asing yang menikah di luar negeri dan belum menundukkan perkawinannya kepada hukum Indonesia dengan mencatatkan pernikahan mereka pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil,  tidak bisa bercerai secara hukum di Indonesia. Melongok pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (tentang pelaksanaan UU Perkawinan), ia berpendapat, perceraian hanya terjadi dengan segala akibat hukumnya apabila perceraian didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil. Sedangkan Kantor Catatan Sipil hanya bisa mendaftarkan perceraian yang ada kutipan akta perkawinan catatan sipilnya.

 

Perceraian yang sah di muka hukum Indonesia hanya dapat terjadi atas perkawinan yang sah dan diakui oleh hukum Indonesia, begitu dalil kuasa hukum Joki dalam eksepsi. Asido juga merasa janggal karena Rembulan meminta cerai mengacu pada UU Perkawinan di Indonesia, sedangkan untuk konsekuensi cerai, Rembulan meminta hakim memutus berdasarkan hukum Philadelphia. Itu tidak masuk akal, ujarnya. Ia membeberkan, tidak ada ketentuan hukum di Indonesia yang mengatur 60% penghasilan suami harus diberikan ke anak dari istri yang sudah cerai.

 

Tuntutan Rembulan antara lain, meminta Joki membayar biaya kebutuhan hidup sang anak dengan memberikan 60% dari penghasilan  Joki setiap bulan. Meminta Joki menanggung biaya pendidikan Mawar sejak September 2007 hingga menyelesaikan pasca-sarjana. Agar gugatan diloloskan hakim di Indonesia, Rembulan juga mendalilkan bahwa di Philadelphia berlaku prinsip Bona Fide Resident. Menurut  prinsip itu, seseorang bisa melakukan upaya hukum alias berperkara di pengadilan dengan syarat harus tinggal (menjadi residen) di Philadelphia enam bulan berturut-turut.

 

Dalil kompetensi absolut yang dilayangkan pihak Joki ternyata dipandang sebelah mata oleh majelis hakim PN Jaksel yang dipimpin oleh Singit Elier serta beranggotakan Mustari dan Hari Sasangka. Pada 13 Mei 2008 lalu, majelis kawalan Singit mengetok putusan sela, menolak eksepsi kompetensi absolut yang diajukan Joki.

 

Menurut majelis, demi keadilan, lantaran penggugat yang mendalilkan sudah tak bisa lagi menempuh upaya gugatan di negeri asalnya, maka perkara ini bisa diperiksa. Majelis berpendapat, seorang hakim dituntut untuk memadukan suatu fakta yang terjadi dalam suatu UU yang menjadi permasalahan.

 

Lebih lanjut dalam pertimbangannya, majelis  bersepakat untuk menerapkan perkara perceraian warga negara asing (WNA) itu berdasarkan hukum Indonesia. Alasannya,  sejak perkawinan, pasangan WNA itu lebih lama tinggal di Indonesia ketimbang di negeri asalnya. Hukum domisili, pada dasarnya merupakan hukum di mana yang bersangkutan sesungguhnya tinggal.

 

Majelis juga mempertimbangkan, demi keadilan, dalam waktu pendek pasangan tidak bisa menyelesaikan persoalan jika harus pulang dulu ke Amerika Serikat dan terbentur prinsip Bona Fide Resident. Lagipula, menurut majelis, penerapan hukum Indonesia, di samping sama dengan hukum sang hakim, juga pastinya lebih dikuasai oleh sang hakim.

 

Menanggapi putusan sela majelis, Asido mengatakan, kalau sampai gugat cerai ini dikabulkan, bakal banyak orang asing bercerai di pengadilan Indonesia, terutama untuk kepentingan melakukan penyelundupan hukum. Ia berpendapat, mestinya pengadilan Indonesia tidak usah mencarikan solusi atau memaksakan hukum dengan beralasan gugatan tak bisa diajukan penggugat di negara lain. 

 

Sudah lazim dalam HPI

Dihubungi terpisah beberapa waktu lalu, pengajar hukum perdata internasional (HPI) Universitas Islam Indonesia Ridwan Khairandy mengatakan, perkara itu lazim terjadi dalam hukum perdata internasional. Kalau pertanyaannya wenang atau tidak, pengadilan Indonesia jelas wenang, ujarnya. Ridwan mengadukan kewenangan ini pada ketentuan dalam Pasal 16 Algemene Bepalingen (AB).

 

Nah, menurut ketentuan dalam Pasal 16 AB itu, beber Ridwan, hukum yang dipakai oleh pengadilan Indonesia haruslah merujuk pada kewarganegaraan dari orang-orang yang berperkara. Dalam perkara HPI, hukum yang dipakai untuk mengadili perkara semacam ini tidak harus mengacu pada hukum Indonesia. Dalam konteks ini, hakim harus menggunakan hukum negara bagian Philadelphia untuk mengadili, jelasnya.

 

Dalam pengamatannya, perkara seperti ini sudah banyak terjadi. Di Surabaya misalnya, pernah terjadi perkara tentang perwalian anak dari WNA. Hakim memutus perkara itu mengunakan hukum dari negara bagian California. Itu lazim, ujarnya. Makanya, mau tak mau, hakim harus menengok pada hukum asal si WNA.

 

Nah, perkara putusan itu nantinya non executable untuk benda-benda yang berada di luar yurisdiksi pengadilan, ujarnya, Itu bukan urusan pengadilan Indonesia lagi. Toh, dalam perkara ini, dalam waktu yang sama pun tidak masalah jika Joki juga  mengajukan perkara cerai di Philadelphia.

 

Masing-masing pengadilan di setiap negara, kan independen, cetusnya. Putusan pengadilan, lanjutnya, pada dasarnya tidak dapat dilaksanakan di negara lain. Bisa diputus cerainya di sini, tapi apa efektif atau tidak dalam eksekusi soal lain-lainnya, itu lain persoalan, pungkasnya.

Rembulan—bukan nama sebenarnya— sudah tak tahan ingin bercerai dengan suaminya sesama warga negara Amerika. Ia merasa  hubungan rumah tangganya sudah di ujung tanduk. Bahtera sudah tinggal menunggu karam. 

Tags: