Meniti Perdamaian di Jalur Hubungan Industrial (2)
Berita

Meniti Perdamaian di Jalur Hubungan Industrial (2)

Minimnya sosialisasi akibatkan konsiliasi jarang dijamah para pelaku hubungan industrial yang sedang berselisih.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Meniti Perdamaian di Jalur Hubungan Industrial (2)
Hukumonline

 

Entah mengapa si advokat muda tadi keukeuh untuk menggunakan mediasi dalam menyelesaikan perkara kliennya. Toh sebenarnya secara normatif undang-undang memberikan beberapa pilihan selain mediasi. Ada konsiliasi atau arbitrase yang bisa ditempuh para pihak yang sedang berselisih.

 

Tak Dikenal

Keenggganan memilih lembaga lain selain mediasi tidak hanya terjadi pada si advokat muda di atas. Beberapa aktivis serikat pekerja juga mengalami hal yang sama. Salah satunya diakui Timboel Siregar, aktivis sekaligus Wakil Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI). Sejak diberlakukannya UU PPHI, kami belum pernah menggunakan konsiliasi ataupun arbitrase, aku Timboel via telepon, Rabu (24/9).

 

Tidak digunakannya konsiliasi atau arbitrase oleh Timboel bukannya tanpa dasar. Ia memiliki beberapa alasan. Salah satunya adalah tidak pernah tercapainya kesepakatan antara dirinya dengan pihak pengusaha untuk memilih berunding melalui konsiliator atau arbitrase.

 

Alasan lain yang tak kalah penting, lanjut Timboel, adalah ketidakjelasan rekam jejak (track record) seorang konsiliator atau arbiter. Ketika kami mencatatkan perselisihan ke disnaker atau sudinaker memang disodorkan pilihan (memilih konsiliator atau arbiter) itu. Pihak Disnaker lantas hanya menunjukkan daftar nama dan alamat konsiliator atau arbiter, ungkapnya.

 

Ketiadaan informasi yang mencukupi mengenai data pribadi konsiliator atau arbiter jelas menjadi kendala. Kami tidak tahu apakah konsiliator atau arbiter itu memiliki pengalaman menangani masalah ketenagakerjaan atau tidak. Belum lagi mengenai ‘keberpihakan' mereka yang belum teruji, tegas Timboel.

 

Walhasil, berdasarkan ketentuan Pasal 4 Ayat (4) UU PPHI, ketika para pihak tidak sepakat melanjutkan perundingan melalui konsiliasi atau arbitrase, maka secara otomatis perundingan berlanjut ke tahap mediasi. Jadi kita memang tidak punya pilihan lain selain ke mediator.

 

Minim sosialisasi

Dihubungi terpisah, seorang konsiliator di Jakarta, Ekalaya Halim mengakui bahwa sejak mengemban amanat sebagai konsiliator hubungan industrial, dirinya belum pernah menangani satu pun perkara. Di Jakarta sendiri, sampai sejauh ini baru ada satu perkara yang ditangani konsiliator. Itu pun selesai di tingkat perjanjian bersama, terangnya kepada hukumonline lewat telepon, Kamis (25/9).

 

Salah satu kendala yang menyebabkan minimnya konsiliator menangani perkara, lanjutnya, adalah belum tersosialisasinya keberadaan konsiliator dengan baik. Jadi masyarakat mungkin belum banyak mengenalnya.

 

Ekalaya sependapat dengan Timboel. Dalam praktiknya, ia mengaku bahwa disnaker maupun sudinaker tidak pernah berkoordinasi dengan konsiliator perihal adanya suatu perkara perselisihan ketenagakerjaan. Jadi bagaimana para pihak yang berselisih mau memakai konsiliator, kalau mereka sendiri tidak mengetahui siapa dan bagaimana konsiliatornya.

 

Bagi Ekalaya, instansi pemerintah di bidang ketenagakerjaan semestinya bertanggung jawab untuk menyebarluaskan informasi seputar konsiliator ini. Untuk itu, ia dan koleganya yang tergabung dalam Forum Konsiliator Jakarta mengaku sudah beberapa kali mengadakan audiensi dengan Pemda. Paling tidak mereka menuntut disediakannya posko bagi konsiliator. Jadi kalau ada pihak yang berselisih, bukan hanya nama kami yang disodorkan, tapi juga langsung ditunjukkan ini nih kami konsiliatornya.

 

Berkaca pada pengalaman di daerah lain, lanjut Ekalaya, keberadaan konsiliator sebenarnya cukup membantu para pihak yang berselisih. Ia mencontohkan bagaimana konsiliator di Papua yang sedikit lebih baik daripada di Jakarta dalam hal jumlah perkara yang ditangani. Di Papua, kabar dari rekan konsiliator di sana, sejauh ini sudah menangani 6-7 perkara.

 

Salah satu alasan mengapa kondisi konsiliator di Papua cukup baik adalah faktor geografis. Setidaknya para pihak akan mengeluarkan kocek agak dalam dan waktu yang tidak singkat jika harus berunding melalui mediator. Letak kabupaten tempat mediator berada cukup jauh di sana. Jadi lebih praktis menggunakan jasa konsiliator, tukasnya. Boleh jadi, kejadian serupa juga dialami di daerah lain. 

 

Lebih jauh Ekalaya berharap agar pemerintah tidak melupakan eksistensi dan peran konsiliator dalam menjaga dan menciptakan hubungan industrial yang dinamis dan berkeadilan. Jika beginilah gambaran nasib konsiliator, bagaimana dengan potret arbiter ketenagakerjaan di Indonesia?

 

Pada sebuah perbincangan dengan hukumonline di gedung PHI Jakarta awal September lalu, seorang advokat muda mengeluhkan pelayanan mediator di Disnakertrans Jakarta maupun Sudinakertrans Kotamadya di Jakarta. Menurut dia, hampir semua mediator tidak memiliki keahlian layaknya seorang juru damai.

 

Si advokat muda tadi mengatakan bahwa rata-rata mediator di Jakarta sepertinya tak memiliki kemampuan khusus untuk mendamaikan pihak yang bersengketa. Pun jikalau terpaksa mengeluarkan anjuran tertulis, tampaknya para mediator sudah memiliki format standarnya.

 

Namun si advokat muda itu memang tidak memiliki pilihan lain. Ia terpaksa menjalani aktifitas mediasi sebagai formalitas memenuhi syarat untuk melanjutkan perselisihan ke PHI. Habis bagaimana lagi? Nggak bisa berharap sama proses mediasi sih.

Halaman Selanjutnya:
Tags: