Sistem Legislasi Indonesia Perlu Dirombak
Berita

Sistem Legislasi Indonesia Perlu Dirombak

Muncul wacana agar Presiden tidak lagi mempunyai kewenangan untuk membentuk undang-undang. Sebagai gantinya, presiden akan diberikan hak veto agar bisa menolak UU produk lembaga legislatif.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Sistem Legislasi Indonesia Perlu Dirombak
Hukumonline

 

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) Bidang Hukum, Adnan Buyung Nasution mengaku bisa memahami usulan tersebut. Apalagi dilihat dari sejarah panjang eksekutif atau presiden dalam ranah legislasi. Pada UUD 1945 sebelum diamandemen, kekuasaan eksekutif dalam membentuk UU cukup besar. Lalu, kekuasaan ini mulai dipersempit melalui amandemen UUD 1945. Namun, bila ada yang ingin menghilangkan kekuasaan presiden dalam ranah legislasi, maka ia meminta perlu kajian yang dalam.

 

Kita mungkin harus memikirkan secara lebih mendalam mengenai usul yang menghendaki dihapusnya sama sekali fungsi legislasi pemerintah dan menggantikannya dengan hak veto terhadap UU keluaran legislatif, ujar Buyung.

 

Buyung menjelaskan sejauh ini pihak pemerintah memang secara teknis dipandang lebih berpengalaman dalam menyusun sebuah RUU. Namun, ia menegaskan harus juga dipikirkan kesiapan lembaga legislatif dalam membuat UU tanpa kehadiran pemerintah. Bila sudah siap, maka usulan itu tentu saja tidak lagi menjadi persoalan, tegasnya.

 

Wakil pemerintah terkesan kurang setuju dengan usulan ini. Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM Abdul Wahid Masru menganggap itu hanya sebuah wacana. Itu kan cuma pemikiran, ujarnya.

 

Menurut Wahid sistem legislasi yang ideal sudah dimiliki Indonesia saat ini. Keterlibatan eksekutif dalam pembuatan UU bukan suatu hal yang aneh. Di negara-negara lain, kekuasaan membentuk UU dilaksanakan pemerintah bersama-sama dengan DPR. Di Belanda juga seperti itu, ujarnya.

 

Karena itu, lanjut Wahid, yang perlu dilakukan tinggal memperbaiki sistem yang ada saja. Saya kira tinggal mengefektifkan yang ada saja, tuturnya. Bila memang akan dilakukan amandemen UUD 1945, Wahid menyarankan perlu ada sinkronisasi dalam Pasal 20 UUD 1945.

 

Pasal 20 ayat (1) menyatakan DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Namun, pada ayat (2) sampai ayat (5), disebutkan keterlibatan pemerintah dalam pembahasan UU. Bila seperti itu, seharusnya, yang memegang kekuasaan membentuk UU bukan hanya DPR, tetapi juga pemerintah.

 

Naskah Constitutional

Pada kesempatan terpisah, Pengamat Hukum Tata Negara (HTN) Irmanputra Sidin juga mengusulkan perbaikan sistem legislasi. Secara tegas, ia meminta agar kebiasaan perancang UU mencantumkan naskah akademik dalam membuat UU harus segera ditinggalkan. Ia menyarankan agar naskah akademik diganti dengan naskah constitutional. Naskah akademik itu belum tentu constitutional, ujarnya.

 

Irman memang terlihat geram dengan sejumlah UU yang acapkali dibuat asal-asalan tanpa melihat ketentuan konstitusi. Akhirnya, banyak UU yang dibuat dengan biaya mahal harus kandas di tangan Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Dalam UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memang tak mewajibkan pembentukan UU harus mencantumkan naskah akademik. Namun, sejumlah kalangan pernah mengusulkan agar naskah akademik diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. 

Wacana melakukan amandemen kelima UUD 1945 semakin melebar. Bila sebelumnya, wacana hanya seputar memperkuat kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif murni yang memiliki kewenangan membuat Undang-Undang atau UU, kali ini sistem legislasi pun diusulkan untuk dirombak. Ketua Kelompok DPD Bambang Soeroso mengusulkan agar model legislasi mengacu pada sistem presidensial murni.

 

Artinya, kewenangan membentuk UU sepenuhnya ada di tangan legislatif. Dalam usulan tersebut, lembaga legislatif menggunakan sistem dua kamar yakni DPR dan DPD. Menurut Soeroso, kewenangan presiden atau pemerintah ikut membahas UU bersama DPR dinilai tak tepat. Seharusnya, Presiden hanya dapat mengajukan rancangan undang-undang ke lembaga legislatif, tetapi presiden tidak ikut dalam pembahasannya, ujar Bambang di Gedung Watimpres, Rabu (18/3).

 

Sebagai gantinya, presiden diberikan hak veto untuk menolak UU yang dihasilkan oleh lembaga legislatif. Usulan DPD, Presiden diberikan waktu 10 hari kerja untuk menolak atau menerima UU tersebut.

Tags: