Pertamina Ajukan Pembatalan Putusan Arbitrase ICC
Utama

Pertamina Ajukan Pembatalan Putusan Arbitrase ICC

Pertamina menilai putusan arbitrase ICC telah melanggar ketertiban umum karena tidak menggubris kedudukan Pertamina selaku kuasa pertambangan migas.

Oleh:
Mon
Bacaan 2 Menit
Pertamina Ajukan Pembatalan Putusan Arbitrase ICC
Hukumonline

 

Melanggar Ketertiban Umum

Selain itu, putusan arbitrase dinilai melanggar ketertiban umum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mendudukan Pertamina sebagai pemegang otoritas kuasa pertambangan minyak dan gas (migas). Selaku kuasa, Pertamina berhak mewakili pemerintah dan mengendalikan kebijakan penetapan status komersial suatu lapangan pertambangan produksi.

 

Namun putusan arbitrase menampik kewenangan Pertamina. Dalam pertimbangannya, majelis arbitrase menyatakan pertamina tidak memiliki diskresi tanpa batas dan harus memutuskan dengan merujuk pada ketentuan dan jiwa dari EOR Contract. Kontrak itu mengikat secara hukum dimana Pertamina secara sukarela masuk dalam perjanjian tersebut bersama PT Lirik sehinga mengikat kedua belah pihak. Tindakan Pertamina yang menolak persetujuan status komersial yang diajukan PT Lirik keliru.

 

Menurut kuasa hukum Pertamina, perusahaan plat merah itu berwenang penuh untuk mengabulkan atau menolak permohonan PT Lirik. Permohonan komersialitas bisa dikabulkan asal menjamin tercapai tujuan yang disebut dalam konsiderans huruf c UU 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak Dan. Gas Bumi Negara dan prinsip ketertiban umum yang digariskan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.

 

Atas permohonan PT Lirik, Pertamina  beranggapan tidak harus mengabulkan dan menyetujui permintaan status komersialitas. Karena pernyataan komersialitas atau tidaknya suatu lapangan baru adalah fungsi pengelolaan dan fungsi pengawasan yang dilimpahkan kepada Pertamina selaku kuasa pertambangan. Putusan arbitrase dinilai bertentangan dengan Pasal 1 huruf h dan Pasal 5 ayat (1) UU 44 Prp Tahun 1960 jo Pasal 11 UU No. 8/1971 jo Pasal 33 ayat (1) dan (2) UUD.

 

Selain itu, putusan arbitrase telah memutus melebihi apa yang dituntut sehingga melanggar azas ultra petitum patrium. Azas itu menentukan hakim dilarang mengabulkan dan menjatuhkan putusan yang melebihi apa yang diminta penggugat. Pelanggaran azas ini bertentangan dengan prinsip fair trial dan prinsip keadilan umum.  Sebab, dalam gugatannya PT Lirik hanya menuntut ganti kerugian terhitung sejak 1997, yakni semenjak permohonan diajukan melalui surat No. 162/LP-GS/IX/97 tanggal 26 September 1997. Ganti rugi yang dituntut sebesar AS$ 20,8 juta sebagai ganti rugi kehilangan potensi keuntungan, jika Pertamina mengabulkan status komersialitas atas empat lapangan yang diajukan. Nilai itu lebih kecil dibanding putusan majelis arbitrase. Karena melanggar azas ultra petitum patrium, maka putusan harus dibatalkan.

 

Putusan Internasional

Kuasa hukum PT Lirik, Anita Kolopaking menyatakan putusan ICC merupakan putusan internasional bukan domestik. Bahkan menurutnya, istilah putusan domestik tidak dikenal dalam dunia arbitrase. Yang ada hukum nasional atau internasional, ujarnya saat dihubungi melalui telepon, Senin (25/5). Anita menjelaskan arbitrase yang telah digelar merupakan forum arbitrase internasional karena memakai hukum acara internasional yaitu ICC.

 

Anita mengakui bahwa persidangan perdana digelar di kantor Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Jakarta. Sidang kedua digelar di Hotel Kempinsky dan selanjutnya persidangan digelar melalui teleconference. Setelah hampir tiga tahun bersidang, putusan pun dijatuhkan dan dibacakan di Prancis. Putusan itu real keluar Prancis, bukan domestik. Mereka (Pertamina) tidak mengerti tentang arbitrase, ujar Anita.

 

Menurut Anita yang juga arbiter, putusan arbitrase itu bersifat final dan mengikat (binding) sehingga harus mendapat kepastian hukum untuk dieksekusi. Pertamina hanya mencari celah untuk menunda eksekusi, imbuhnya.

Tak puas dengan putusan International Chamber of Commerce (ICC), PT Pertamina (Persero) dan PT Pertamina EP mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase ICC ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam permohonan yang didaftarkan 11 Mei 2009 lalu itu, Pertamina meminta pembatalan terhadap Partial Award (Putusan Awal) 22 September 2008 dan Final Award (Putusan Akhir) 27 Februari 2009. Pasalnya, putusan itu menghukum Pertamina untuk membayar ganti rugi sebesar AS$ 34,495 juta kepada PT Lirik Petroleum lantaran melanggar Enhanced Oil Recovery (EOR) Contract. Rencananya, persidangan perdananya akan digelar Kamis (29/5) mendatang dengan majelis hakim yang diketuai Sugeng Riyono.

 

Perkara ini timbul lantaran Pertamina tidak mengabulkan permohonan komersialitas pada lapangan Molek, South Pulai dan North Pulai yang diajukan PT Lirik. Sesuai dengan EOR Contract, PT Lirik akhirnya membawa perkara itu ke ICC. Menurut majelis arbitrase—dalam Partial Award—penolakan Pertamina tersebut melanggar EOR Contact, sehingga perusahaan migas milik Negara itu harus bertanggung jawab atas kerugian PT Lirik karena kehilangan potensi keuntungan. Sebab PT Lirik tidak mendapat Incremental Oil dari lapangan tersebut sejak 12 September 1995 hingga 27 Maret 2008.

 

Dalam Final Award, majelis arbitrase menghukum Pertamina untuk mengganti kerugian sebesar AS$ 34,172 juta dan biaya perkara sebesar AS$ 323.250. Pertamina juga dihukum membayar bunga 6 persen setiap tahun dari jumlah ganti rugi sejak Final Award dijatuhkan hingga putusan dieksekusi.

 

Dalam permohonannya. kuasa hukum Pertamina dari kantor Remy & Partners menyatakan putusan arbitrase No. 14387/JB/JEM tidak dapat dipertahankan. Sebab, pendaftaran putusan itu ke pengadilan negeri telah melewati tenggat waktu yang ditentukan Pasal 59 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase. Menurut kuasa hukum Pertamina, putusan itu merupakan putusan domestik sebab arbitrase dilakukan di Jakarta, begitupula putusannya dijatuhkan di Jakarta. Karena itu, tenggat waktu pendaftarannya tunduk ada pada Pasal 59 ayat (1) UU Arbitrase, yakni putusan harus didaftarkan 30 hari sejak diucapkan.

 

Dalam kasus ini, putusan akhir (Final Award) dijatuhkan dan dibacakan pada 27 Februari 2009, sehingga paling lambat didaftarkan ada 28 Maret 2009. Namun, putusan arbitrase baru didaftarkan 21 April 2009 dalam register No. 02/Pdt/Arb-Int/2009/PN.JKT.PST. Artinya, putusan baru didaftarkan 54 hari sejak dibacakan.

Tags: