PK Oleh Jaksa Rusak Tatanan Hukum Indonesia
Utama

PK Oleh Jaksa Rusak Tatanan Hukum Indonesia

Mahkamah Agung harus mengakui kekeliruan yang pernah dibuat. Melalui SEMA No. 10 Tahun 2009, MA telah melarang PK dua kali.

Oleh:
Rfq
Bacaan 2 Menit
PK Oleh Jaksa Rusak Tatanan Hukum Indonesia
Hukumonline

 

Jika MA mengabulkan PK oleh jaksa, maka terpidana atau ahli warisnya pun berhak untuk mengajukan PK. Hak terpidana malah jelas dirumuskan oleh KUHAP. Walhasil, muncullah PK di atas PK atau PK kedua. Solusinya adalah PK atas PK, ujar mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi itu.

 

Menurut Laica, kerusakan tatanan hukum PK itu harus diakhiri. Mahkamah Agung harus berani mengakui kekeliruan peradilan. Laica menilai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 10 Tahun 2009 yang melarang PK lebih dari sekali tidak bisa dijadikan pegangan yang kuat. Sesuainya namanya, SEMA lebih bersifat kebijakan internal MA. SEMA tidak mungkin menabrak apalagi menghilangkan rumusan peraturan yang lebih tinggi, dalam hal ini KUHAP. SEMA tidak bisa dijadikan dasar untuk mengajukan PK atas PK, ujarnya.

 

Solusinya, Laica menyarankan agar terpidana mengajukan permohonan pembatalan putusan PK. Diakui Laica, mekanisme ini memang belum diatur dalam ranah hukum Indonesia. Toh, terpidana tetap bisa mencoba. "Bagi saya, terbuka kemungkinan itu. Dan, Mahkamah Agung (MA) setelah menyadari ini harus berjiwa besar dan membatalkan putusan," ujarnya.

 

Untuk mengatasi kerusakan tatanan hukum ini, Rudi berharap penyusun RUU KUHAP membuka mata hati untuk mempertegas masalah PK oleh jaksa. Kalau RUU KUHAP tidak mengubahnya, tidak akan berguna, tegas Rudi.

 

Jika tidak diakhiri kerusakan tatanan hukum akan kian parah. Dalam kasus Djoko Tjandra misalnya. MA menghukum Djoko dan Syahril Sabirin masing-masing dua tahun penjara berdasarkan permohonan PK yang diajukan jaksa. Setelah vonis itu turun, kini giliran Djoko yang mengajukan PK. Apakah tidak terpikirkan nanti setelah putusan PK kedua turun, akan ada PK lagi?

 

Menurut Rudi, Mahkamah Agung juga harus berani mengevaluasi hakim-hakimnya.

 

Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh jaksa, dan kemudian diterima Mahkamah Agung, diyakini telah merusak tatanan hukum Indonesia hingga kini. Rumusan dan latar belakang historis KUHAP sudah jelas bahwa PK mestinya merupakan hak terpidana atau ahli warisnya. Putusan Mahkamah Agung yang telah menerima PK oleh jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan dan beberapa perkara sesudahnya

 

Dalam diskusi ‘Kontroversi Pengajuan PK Kedua' di Jakarta, Rabu (01/7) kemarin, akademisi hukum pidana Universitas Indonesia Rudi Satrio Mukantardjo berpendapat PK yang dimohonkan jaksa selama ini menyalahi perundang-undangan. Redaksi KUHAP sama sekali tidak menyebutkan hal jaksa mengajukan PK. Menurut sejarahnya, PK justru diberikan sebagai upaya terakhir kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengubah ‘nasib'.

 

Kalaupun kemudian Mahkamah Agung menerima PK jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan, dan putusan itu menjadi yurisprudensi, argumentasi ini bagi Rudi kurang kuat. Hakim Indonesia pada dasarnya independen, dan tidak terikat pada yurisprudensi. Lagipula, suatu putusan yang keliru tidak mungkin dijadikan yurisprudensi. Kalau kasus Muchtar Pakpakan dijadikan yurisprudensi dan lantas diikuti hakim-hakim, kata Rudi, berarti ada kesalahan. Itu salah, dan tidak ada baiknya, ujar pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.

 

Rudi juga mengingatkan latar belakang politik pada saat MA mengakomodir permohonan PK oleh jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan. Saat itu, hukum dikuasasi kepentingan politik penguasa. Muchtar yang kala itu dituduh menjadi dalang demo buruh memang menjadi incaran penguasa. Maka segala kemungkinan digunakan untuk menyeret Muchtar ke meja hijau. Jadilah kemudian permohonan PK oleh jaksa.

 

Senada  dengan Rudi Satrio, mantan Hakim Agung Laica Marzuki berpendapat bahwa putusan PK dalam kasus Muchtar –termasuk kasus lain seperti Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin dimana PK diajukan oleh jaksa -- bisa saja merupakan kekeliruan peradilan (rechtelijke dwaling). Langkah jaksa semacam itu tak ubahnya menerobos aturan KUHAP. Menurut dia, langkah jaksa itu merupakan kesewenang-wenangan hukum. Apakah kita harus membiarkan kesewenang-wenangan itu? kata Laica bernada tanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: