Bawaslu Tak Lagi Harapkan Sentra Gakumdu
Berita

Bawaslu Tak Lagi Harapkan Sentra Gakumdu

Bawaslu memilih kembali ke proses pelaporan biasa yang ditentukan UU Pilpres karena banyak kasus yang dimentahkan di tengah jalan oleh kepolisian.

Oleh:
M-8/Fat/Rzk
Bacaan 2 Menit
Bawaslu Tak Lagi Harapkan Sentra Gakumdu
Hukumonline

 

Wirdyaningsih menegaskan, Bawaslu merasa lelah berkoordinasi dalam bentuk Sentra Gakumdu  karena faktanya di lapangan, laporan itu mentok dan tidak dilanjutkan. Sehingga Bawaslu memilih hanya menyalurkan laporan masyrakat kepada polisi dan menyerahkan tanggung jawab sisanya kepada polisi.

 

Berbeda dengan Wirdiyaningsih, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum pada Kejaksaan Agung, Abdul Hakim Ritonga membantah Sentra Gakumdu sudah tidak ada lagi.Siapa bilang? Masih. Tidak perlu dibikin lagi, cukup bisa berkoordinasi, ungkap Abdul Hakim.

 

Wakil Kepala Polri, Makbul Padmanagara, ketika ditanyai hal yang sama menjawab bahwa Sentra Gakumdu hanyalah sebuah koordinasi. Polisi lebih berpegang pada aturan hukum yang ada. Aturan hukum dalam UU Pilpres haruslah memiliki bukti awal yang cukup. Sementara bukti awal yang cukup menurut pasal 184 KUHAP terdiri dari saksi, surat, petunjuk, keterangan ahli dan tersangka.

 

Makbul juga menjelaskan prosedur untuk masyarakat jika ingin melaporkan  tindakan yang dicurigai sebagai tindak pidana pemilu. Sekarang yang berhak melapor itu adalah warga negara yang memiliki hak pilih, kemudian pemantau, kemudian juga yang pilpres atau tim suksesnya. Tapi kalau ada yang dilaporkannya itu ke Bawaslu atau panwaslu, kita menerima itu aja. Jadi bukan masyarakat langsung kepada kita, kata Makbul.

 

Disinggung tentang kesiapan Polri dalam mengawal proses Pilpres ini, Makbul menyatakan sudah mempersiapkan aparatnya untuk bersiaga. Ya dua per tigalah dari kekuatan kita dari 280 ribu personil. Hitung sendiri yah. Jika pernyataan Makbul benar, artinya ada lebih kurang 180 sampai 200 ribu personil polisi yang siap mengamankan dan siap menegakkan ketentuan pidana UU Pilpres.

 

Seirama dengan polisi, jaksa pun sudah bersiap-siap. AH Ritonga menuturkan, kejaksaan sudah siap menangani kasus tindak pidana pemilu dalam pilpres nanti. Kami sudah menyiapkan jaksa sebanyak 926 orang seluruh Indonesia.

 

Masih belum jelas

Dari segi hukum materil, pengaturan ketentuan tindak pidana pemilu dalam UU Pilpres ini juga dianggap masih belum jelas. Demikian diungkapkan peneliti Cetro, Refly Harun kepada wartawan, Senin (6/7). Refli memberikan sebuah ilustrasi. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh tim sukses dari pasangan capres, Apakah bisa calonnya didiskualifikasi? gugat Refly.

 

Menurut Refli, akan sangat berbahaya bagi kestabilan politik bila sampai ada pasangan calon yang didiskualifikasi hanya karena ulah tim suksesnya. Maka sebaiknya dibuat mekanisme hukum yang tidak mengganggu stabilitas politik. Kalau memang individual, contohnya ada 5-10 orang pelakunya, ya 5-10 orang itu yang dihukum, ujarnya.

 

Selain itu Refli juga menyatakan, sebaiknya dibuat sebuah mekanisme yang memungkinkan atas suatu tindak pidana, bisa juga dijatuhkan sanksi administratif. Bukan hanya sanksi pidana. Refli memberikan contoh ketika terjadi sebuah kecurangan dalam proses penghitungan suara. Jika satu pihak terbukti melakukan tindakan kecurangan itu di pengadilan, suara yang dicurangi itu harus dikembalikan kepada si pemilik suara. Jadi bukan saja ada tindakan pidana bagi yang melakukan kecurangan tapi juga ada tindakan administratif untuk memproses suara-suara yang direbut dari pemiliknya itu.

 

Jadi intinya harus ada mekanismenya. Jangan sampai seperti kasus di lampung kemarin. Tiba-tiba membatalkan kemenangan calon legislatif, gara-gara seorang ibu melakukan money politic, tambah Refli.

Proses pemungutan suara dalam pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) baru saja berakhir. Sejumlah tim sukses dan pendukung pasangan capres mengaku sudah menemukan beberapa pelanggaran dan kecurangan, seperti adanya pemilih di bawah umur, surat suara yang sudah tercontreng atau bahkan adanya saksi dari pasangan capres tertentu yang memiliki formulir rekapitulasi penghitungan suara di tingkat TPS. Beberapa kasus sudah dilaporkan ke panitia pengawas pemilu (panwaslu) di daerah.

 

UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres sudah mengatur alur dan mekanisme penanganan terhadap kasus pelanggaran dan kecurangan dalam pilpres. UU itu juga sudah menyebutkan siapa saja yang berhak menerima dan menangani kasus dugaan pelanggaran dan kecurangan itu. Dalam tataran praktik, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kepolisian dan kejaksaan pernah bersinergi untuk membentuk sentra penegakkan hukum terpadu (gakumdu) sebagai wadah koordinasi dalam pemilu legislatif lalu.

 

Sayangnya, Bawaslu mengaku kecewa dengan Sentra Gakumdu pada pemilu legislatif ini. Alih-alih menjadi sarana untuk mempermudah koordinasi dan menyamakan pemahaman, kepolisian malah kerap mengembalikan berkas perkara yang disodorkan Bawaslu. Alasannya antara lain karena Bawaslu kerap tidak memiliki bukti permulaan yang cukup. Sementara Bawaslu merasa tak mungkin memenuhi permintaan polisi, karena tugas dan kewenangan Bawaslu terbatas. Tak seperti polisi yang punya kewenangan memanggil paksa maupun menyita barang.

 

Lantaran kekecewaan itu, Bawaslu kemudian lebih memilih untuk tidak terlalu berharap pada Sentra Gakumdu lagi kali ini. Anggota Bawaslu Bidang Hukum dan Penanganan Laporan Wirdyaningsih menegaskan tidak ada lagi MoU yang dulu pernah ditandatangani bersama polisi dan kejaksaan. Bawaslu, kata Wirdyaningsih, lebih memilih jalur biasa seperti yang diamanatkan UU Pilpres.

 

Menurut Undang-Undang itu, penyampaian laporan tindakan yang diduga tindak pidana dari masyarakat adalah pengkajian laporan oleh Bawaslu yang selanjutnya meneruskannya kepada kepolisian. Dari kepolisian, perkara itu kemudian diproses oleh penuntut umum untuk dibawa ke pengadilan. Saya melihat itu yang coba kita jalani dibandingkan dengan yang dulu lebih banyak dimentahkan sendiri, kata Wirdyaningsih.

Tags: