DPR Atau Komisi Yudisial?
Kolom

DPR Atau Komisi Yudisial?

Upaya untuk memperbaiki kondisi buruk Mahkamah Agung (MA) sedang dalam titik yang krusial. Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang menyeleksi calon-calon Hakim Agung untuk mengisi kekosongan jabatan hakim agung di MA. Jika usulan DPR untuk menambah jumlah Hakim Agung dari 51 orang menjadi 60 orang terlaksana, dari proses pemilihan Hakim Agung kali ini akan lahir 20 hakim agung baru, atau 33,3 % dari total jumlah Hakim Agung di MA.

Bacaan 2 Menit
DPR Atau Komisi Yudisial?
Hukumonline
Berdasarkan informasi, sampai dengan tahun depan masih akan ada penggantian hakim agung kembali sebanyak 30 orang. Berarti, jika kita jumlahkan, sampai dengan tahun 2001, sekitar 50 jabatan hakim agung di MA akan diisi oleh orang-orang baru. Sebuah penggantian besar-besaran (83.3%).

Seleksi calon
Momentum di atas jelas tidak boleh dilepaskan begitu saja. Sekali kita salah dalam menyeleksi dan nantinya memilih hakim agung yang tepat, maka akan sangat sulit bagi kita untuk memberhentikannya sebelum masa jabatannya berakhir. Oleh karena itu, isu utama dari proses penyeleksian dan pemilihan hakim agung saat ini adalah bagaimana kita dapat menyeleksi dan akhirnya memilih hakim agung yang berkualitas sekaligus memiliki integritas yang kokoh.

Setidaknya ada 2 (hal) yang harus diperhatikan sehubungan dengan hal tersebut, yaitu siapa yang menyeleksi dan memilih serta bagaimana proses penyeleksian dan pemilihannya. Mengenai bagaimana proses penyeleksian dan pemilihannya, sepertinya banyak dari sepakat bahwa proses penyeleksian dan pemilihan hakim agung harus dilakukan secara transparan (terbuka).

Seleksi hakim agung harus melibatkan dan memungkinkan keterlibatan masyarakat secara luas dan aktif (masyarakat diberikan waktu dan informasi yang cukup untuk menilai calon), serta digunakannya mekanisme yang obyektif dan terukur untuk menilai integritas dan kualitas calon (misalnya dengan melakukan debat terbuka, mengkaji putusan, gugatan/pembelaan atau karya ilmiah calon, melakukan pengecekan di lapangan mengenai harta kekayaan dan gaya hidup calon). Pertanyaannya kemudian, siapa atau lembaga apa yang paling tepat untuk melakukan penyeleksian dan pemilihan.

DPR sebagai Lembaga Penyeleksi
Berdasarkan Pasal 8 ayat (1), (2), (3) dan (5) Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU 14/1985), kewenangan untuk menyeleksi (mengusulkan) calon hakim agung, Ketua dan Wakil Ketua MA ada pada DPR. Hasil dari seleksi tersebut, yang jumlahnya bersifat limitatif yaitu 2 (dua) kali jumlah kebutuhan, diajukan kepada Presiden untuk dipilih (diangkat).

Sementara ini, ada pihak yang mempermasalahkan peran DPR dalam menyeleksi calon hakim agung, Ketua dan Wakil Ketua MA. Ada beberapa argumen yang menguatkan hal tersebut, yaitu: Pertama, tugas utama DPR adalah untuk membuat Undang-Undang dan melakukan kontrol terhadap eksekutif. Akan lebih baik bila DPR lebih memfokuskan diri pada tugas utamanya tersebut dan tidak terlalu dibebani tambahan tugas yang sesungguhnya dapat dialihkan.

Dengan dua tugas utama di atas, secara otomatis menempatkan tugas dan kewenangan menyeleksi hakim agung, Ketua dan Wakil Ketua MA sebagai sebuah tugas sampingan. Hal tersebut membuka peluang besar bahwa hasil seleksi tersebut tidak seoptimal tugas utamanya. Hal tersebut telah terlihat dari proses yang saat ini berjalan. Ada calon yang baru menerima surat pemberitahuan tentang pencalonannya dan surat tanda kesediaanya menjadi calon pada hari terakhir dari batas waktu yang ditentukan untuk menyerahkan jawaban kesediaan dan kelengkapan administratif lainnya.

Selain itu, pernyataan Ketua DPR Akbar Tandjung dan Ketua Komisi II DPR Amin Aryoso bahwa DPR tidak punya mekanisme untuk melakukan investigasi atas laporan masyarakat yang masuk mengenai calon hakim agung kecuali melalui klarifikasi laporan masyarakat kepada para calon sendiri atau Departemen Hukum dan Perundang-undangan, semakin menguatkan bahwa DPR memiliki kelemahan-kelemahan struktural guna menjalankan tugasnya sebagai penyeleksi calon Hakim Agung (Kompas, 13 Juli 2000).

Kedua, DPR adalah lembaga politik. Ada kekhawatiran, produk yang dihasilkan pun tidak terlepas dari kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan politik. Bila kita hubungkan dengan kondisi empiris di mana ada anggota partai politik yang juga dicalonkan menjadi hakim agung bahkan Ketua MA, maka akan terasa janggal apabila kemudian pihak yang mencalonkan (partai politik) juga melakukan penyeleksian terhadapnya.

Komisi Yudisial, sebuah Jawaban
Melihat kelemahan-kelemahan DPR di atas, perlu dipertimbangkan alternatif lembaga lain untuk membantu DPR dalam menjalankan tugas menyeleksi calon hakim agung, Ketua dan Wakil Ketua MA. Salah satu alternatif yang paling baik, adalah dengan membentuk suatu lembaga khusus yang independen dan non-partisan, yaitu Komisi Yudisial.

Tugas dan wewenang Komisi Yudisial ini, selain melakukan seleksi terhadap calon hakim agung juga melakukan pengawasan terhadap hakim terutama hakim agung, baik secara aktif maupun menerima pengaduan masyarakat. Dengan keberadaan Komisi Yudisial, tugas DPR akan lebih ringan.

Secara teknis dapat dijelaskan, bahwa Komisi ini yang akan melakukan seleksi terhadap calon hakim agung. Hasilnya diberikan kepada DPR sebanyak 2 kali jumlah kebutuhan (kekosongan jabatan di MA). Kemudian DPR memilih calon-calon di antara yang telah diseleksi tersebut. Dengan demikian, otomatis peran Presiden akan diperkecil, yaitu tidak lagi memilih, tetapi semata-mata hanya menetapkan (seremonial).

Komisi Yudisial ini dapat terdiri kalangan mantan hakim agung, advokat/pengacara, akademisi bidang hukum, dan tokoh masyarakat/agama selama jumlahnya ganjil dan tidak lebih dari 9 orang. Anggota komisi ini seyogyanya dipilih oleh DPR dan bertanggungjawab kepada publik. Dengan komposisi yang didominasi orang-orang yang berlatar belakang di bidang hukum, bahkan sebagian pernah berpraktek di pengadilan dan lingkup tugas yang mencakup pengawasan hakim, diharapkan Komisi Yudisial akan dapat menjalankan tugas menyeleksi calon hakim agung secara optimal. Tentu saja jika pemikiran ini diterima, nantinya

Sebenarnya keberadaan Komisi Yudisial bukanlah hal yang baru. Di beberapa negara seperti Afrika Selatan, Philipina, Australia atau Israel misalnya, lembaga serupa dikenal, walau dengan nama, keanggotaan, tugas dan wewenang yang bervariasi. Di Afrika Selatan misalnya, komisi serupa bernama Judicial Service Commission yang keanggotaannya terdiri dari Chief Justice (Ketua MA), Presiden Mahkamah Konstitusi, presiden hakim, anggota kabinet, anggota national assembly (DPR), praktisi hukum, akademisi, jaksa, wakil masyarakat, dan perwakilan daerah.

Judicial Service Commission mempunyai tugas dan wewenang untuk menyusun daftar dan memberikan masukan terhadap pengangkatan Chief Justice (Ketua MA) serta hakim-hakim lainnya. Lembaga tersebut juga memiliki tugas dan wewenang untuk mengusulkan pemecatan hakim-hakim.

Judicial and Bar Councildi Filipina terdiri dari dan memiliki tugas dan wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim-hakim dan anggota Komisi Ombudsman. Judicial and Bar Council terdiri dari Chief Justice, perwakilan dari BAR, perwakilan dari Kongres, mantan hakim agung, dan pihak swasta. Di New South Wales Australia, Judicial Commission terdiri dari Chief Justice, anggota yang dipilih gubernur, praktisi hukum, dan tokoh masyarakat.

Apabila kita serius untuk membenahi lembaga peradilan, salah satu entry point yang telah ada di depan mata, yaitu proses pemilihan Hakim Agung saat ini, harus kita optimalkan, yaitu dengan secepatnya membentuk Komisi Yudisial. Untuk itu, ada 2 (dua) langkah yang dapat dilakukan.

Pertama, DPR secara sukarela membentuk Komisi Yudisial untuk membantu DPR dalam menyeleksi hakim agung saat ini. Kedua, segera ubah UU 14/1985 atau buat Perpu dengan mengubah UU 14/1985 untuk melimpahkan tugas dan wewenang menyeleksi hakim agung, Ketua dan Wakil Ketua MA kepada Komisi Yudisial.

* Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)
Tags: