MK Harus Konsisten sebagai Negatif Legislator
UU Penodaan Agama:

MK Harus Konsisten sebagai Negatif Legislator

Ahli dari pemerintah menyarankan MK agar tidak menambahkan 'norma' baru ke dalam UU yang diuji, seperti yang sering dilakukan oleh MK belakangan ini.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Foto: Sgp.
Foto: Sgp.

Sidang pengujian UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) telah memasuki tahap-tahap akhir. Rencananya, MK tinggal menggelar dua kali sidang lagi terhadap perkara yang disidangkan maraton seminggu dua kali ini. Sebelum membuat putusan, MK diingiatkan agar kembali ke khitahnya sebagai negatif legislator.

 

Hal ini disampaikan oleh mantan Dirjen Kesbangpol Depdagri, Soedarsono di ruang sidang MK. Soedarsono yang tampil sebagai ahli dari pemerintah menyatakan UU Penodaan Agama itu sudah sangat jelas. Sehingga tak perlu lagi ditafsirkan 'macam-macam'. Sebagai negatif legislator, lanjutnya, MK hanya bisa menghilangkan norma yang ada dalam suatu UU bila bertentangan dengan UUD 1945. “MK tak bisa menambahkan norma baru ke dalam UU tersebut,” tuturnya di gedung MK, Rabu (17/3).

 

Pandangan Soedarsono ini menanggapi pertanyaan yang diajukan wakil Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Kuasa hukum PBNU, Arsul Sani mempertanyakan sikap Soedarsono sebagai ahli mengenai UU Penodaan Agama tersebut. Pada sidang sebelumnya, lanjut Arsul, banyak pihak yang mengeluhkan UU tersebut bersifat diskriminatif terhadap ajaran-ajaran agama tertentu.

 

“Intinya, ahli ingin MK mempertahankan UU ini atau apakah ahli setuju bila MK memberi pemaknaan kembali UU ini agar sikap diskriminasi para pejabat pemerintahan dapat diminimalisir?” kata Arsul. Ia mengatakan, dalam berbagai putusannya MK memang kerap memberikan pemaknaan suatu ketentuan dalam UU.


Sekedar mengingatkan, MK memang kerap membuat putusan yang berbunyi conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat. Artinya, suatu ketentuan dinyatakan konstitusional asalkan memenuhi syarat yang diberikan oleh MK. Sebagian pengamat menilai putusan semacam ini dianggap sebagai
pintu masuk MK untuk menambahkan norma ke dalam suatu UU.

 

Soedarsono menegaskan bahwa MK tak berwenang memberikan pemaknaan-pemaknaan yang dimaksud Arsul. Bila peran itu dilakukan oleh MK, berarti MK telah berubah menjadi positif legislator. Padahal, yang mempunyai kewenangan sebagai positif legislator adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah. “MK seharusnya jangan ikut-ikutan sebagai positif legislator. Itu kewenangan DPR,” tegasnya.  

Tags:

Berita Terkait