MK Diminta Batalkan Aturan Gelandangan dalam KUHP
Utama

MK Diminta Batalkan Aturan Gelandangan dalam KUHP

Pasal 505 KUHP dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Polri juga sudah punya aturan tentang gelandangan dan pengemis.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
MK diminta batalkan aturan Gelandangan dan pengemis (gepeng) dalam KUHP. Foto: Sgp
MK diminta batalkan aturan Gelandangan dan pengemis (gepeng) dalam KUHP. Foto: Sgp

Berangkat dari keprihatinan kondisi gelandangan di jalanan yang dipidana, seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas, Debbi Agustio Pratama mengajukan permohonan pengujian Pasal 505 KUHP. Pasal ini mengatur larangan bergelandangan tanpa mata pencaharian dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

Pemohon merasa dirugikan atas berlakunya pasal itu karena berpotensi terkena dampak pemberlakuan pasal ini jika suatu saat nanti kemungkinan menjadi anak gelandangan. Pasalnya, pemohon sering bercengkerama dengan anak-anak jalanan, khususnya di Kota Padang, yang sebagian orang menilai negatif terhadap mereka.

“Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 505 KUHP yang berhak atas rasa aman dan perlindungan yang dijamin UUD 1945,” kata Debbi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Maria Farida Indrati di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (29/3).

Selengkapnya, Pasal 505 ayat (1) KUHP berbunyi, “Barangsiapa bergelandangan tanpa pencarian diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.” Ayat (2) merumuskan, “Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang berumur di atas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan”.

Debbi mengatakan pada hakikatnya gelandangan bukan perbuatan yang melawan hukum. Sebab, suatu perbuatan tidak dapat dikatakan kriminal jika tidak terdapat kehendak jahat dari si pelaku. “Pasal 505 KUHP akan menjerat orang yang tidak bersalah. Jadi sangat tidak tepat apabila perbuatan ini (bergelandang) didekriminalisasi karena tidak ada yang dirugikan dari perbutan ini,” ujar Debbi.

Ia mengutip pengertian gelandangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang artinya orang yang tidak tentu tempat kediaman dan pekerjaannya. Menurut mahasiswa semester akhir ini, tanggung jawab negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak telantar  sesuai Pasal 34 UUD 1945 belum dijalankan.

“Negara belum memenuhi kewajibannya untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak telantar, malah mempidanakan warga negaranya yang bergelandangan. Padahal sebagian besar orang bergelandang adalah orang miskin, anak-anak telantar yang tidak tentu tempat kediaman dan pekerjaannya,” jelas pria yang mengaku membiayai kuliahnya sendiri.

Karena itu, Pasal 505 KUHP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 34 UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berikut segala akibat hukumnya. “Kami minta MK membatalkan Pasal 505 KUHP itu karena bertentangan dengan UUD 1945,” tuntutnya.

Menanggapi permohonan, Maria menyarankan agar permohonan ini disusun sesuai format sistematika yang diatur dalam Peraturan MK. “Misalnya, uraian identitas pemohon, kewenangan MK, legal standing pemohon, alasan-alasan permohonan (posita), dan tuntutan (petitum). Saudara bisa melihat contoh permohonan di MK. Ini perlu diperbaiki,” saran Maria.

Maria juga menyarankan agar pemohon menguraikan kondisi faktual kehidupan  gelandangan di Kota Padang yang mengakibatkan kerugian hak konstitusional para gelandangan, sehingga pemohon dapat terhindar dari pemberlakuan pasal itu.

“Kondisi kehidupan gelandangan sebaiknya perlu diuraikan juga. Untuk sidang selanjutnya mungkin nanti akan kita dipertimbangkan sidang telekonferen setelah Anda memperbaiki permohonan ini,” kata Maria.

Anggota majelis panel, Harjono menilai secara umum alasan permohonan ini sudah runtut dan cukup baik. Namun, syarat format sistematika permohonan ini yang harus diperbaiki. “Seperti uraian bagian kewenangan MK, legal standing pemohon perlu dilengkapi,” kata Harjono.

Gepeng
Berdasarkan penelusuran hukumonline lema ‘gelandangan’ dan ‘pengemis’ sering dipadupadankan sehingga membentuk istilah gepeng. Gelandangan, berdasarkan PP No 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandang dan Pengemis, adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Penanggulangan gelandangan dilakukan melalui upaya preventif, represif, dan rehabilitatif. Dari ketiga upaya penanggulangan ini tak satu pun yang menyebut kriminalisasi gepeng berdasarkan KUHP. Upaya represif hanya meliputi razia, penampungan sementara, dan pelimpahan. Namun, Pasal 13 PP ini memungkinkan pengembalian gepeng karena ‘putusan pengadilan’.

Regulasi lain yang menyinggung gepeng adalah Peraturan Kapolri (Perkap) No. 14 Tahun 2007 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Perkap ini menyinggung tindakan penegakan hukum terhadap gepeng. Tindakan penegakan hukum terhadap gepeng meliputi razia, penampungan sementara untuk diklasifikasi, penyidikan, dan pelimpahan perkara ke pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan.

Dalam hal gepeng diketahui atau diyakini terlibat dalam tindak pidana, begitu rumusan Pasal 10 Perkap, “diambil alih penanganannya oleh Polri untuk diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan”.

Peraturan yang bisa menjerat gepeng adalah Pasal 505 KUHP. Kini, pasal tersebut sedang dimohonkan untuk diuji di Mahkamah Konstitusi.

Tags: