Sepuluh Pasal UU Migas Dinilai Menabrak Konstitusi
Berita

Sepuluh Pasal UU Migas Dinilai Menabrak Konstitusi

UU Migas bisa meruntuhkan kedaulatan negara.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
MK gelar sidang perdana permohonan uji materi pengujian Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Foto: ilustrasi (Sgp)
MK gelar sidang perdana permohonan uji materi pengujian Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Foto: ilustrasi (Sgp)

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana permohonan uji materi pengujian Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Pemohonan ini dimohonkan 32 tokoh dan 10 ormas keagamaan. Antara lain Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketua MUI Amidhan, mantan Ketua PB NU Achmad Hasyim Muzadi, mantan Menakertrans Fahmi Idris, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Prof Komaruddin Hidayat.

Dari kelompok ormas ada Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad Al-Islamiyah, Persaudaraan Muslim Indonesia. Mereka memohon pengujian pasal 1 angka 19, pasal 1 angka 23, pasal 3 huruf b, pasal 4 ayat (3), pasal 6, pasal 9, pasal 10, pasal 11 ayat (2), pasal 13, dan pasal 44 UU Migas.

Mereka menilai UU Migas berdampak sistemik terhadap kehidupan rakyat dan dapat merugikan keuangan negara. Sebab, UU Migas membuka liberalisasi pengelolaan Migas yang sangat didominasi pihak asing karena dunia permigasan Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing sampai 89 persen.

“UU Migas telah meruntuhkan kedaulatan negara dan kedaulatan ekonomi bangsa. UU Migas ini menjadi dzalim terhadap bangsa Indonesia sendiri,” kata kuasa hukum para  pemohon, Syaiful Bakhri, saat membacakan permohonan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang MK Jakarta, Selasa (17/4).

Syaiful mengatakan pembentukan UU Migas terdapat desakan internasional untuk melakukan reformasi dalam sektor energi, khususnya Migas. “Reformasi energi bukan hanya berfokus pada upaya pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi dimaksudkan untuk memberikan peluang besar kepada korporasi internasional untuk merambah bisnis migas di Indonesia,” tudingnya.

Syaiful mencontohkan mekanisme kontrak kerja sama seperti diatur pasal 1 angka (19) sangat merendahkan martabat negara ini karena kontrak kerja sama yang berkontrak adalah Badan Pelaksana (BP) Migas atas nama negara berkontrak dengan korporasi atau korporasi swasta yang selalu menunjuk arbitrase internasional jika terjadi sengketa.

“Akibat hukumnya apabila negara kalah dalam sengketa ini berarti juga kekalahan seluruh rakyat Indonesia. Di situlah inti merendahkan martabat negara. “Pasal 1 angka (19) itu menimbulkan ketidakpastian hukum khususnya pemaknaan kontrak lainnya,” kata Syaiful.

Tags: