KY Diminta Periksa Majelis Kasus Bandar Narkoba
Berita

KY Diminta Periksa Majelis Kasus Bandar Narkoba

Kemungkinan ada langkah mempersatukan persepsi terkait pidana mati terhadap kasus-kasus pengedar narkoba.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
KY diminta periksa majelis kasus bandar narkoba. Foto: Sgp
KY diminta periksa majelis kasus bandar narkoba. Foto: Sgp

Sejumlah kelompok masyarakat yang tergabung dalam Kaukus Masyarakat Peduli Anak dari Kejahatan Narkoba melaporkan Majelis Peninjauan Kembali (PK) yang membatalkan vonis mati pemilik pabrik narkotika asal Surabaya Hengky Gunawan menjadi 15 tahun penjara ke Komisi Yudisial (KY), Kamis (11/10).  

Kaukus ini terdiri dari Anggota Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni'am Sholeh, Ikhsan Abdullah (advokat), Muhamad Jhoni (advokat), Andi Najmi dari LPBH PBNU, Komisi Hukum MUI Rofiqul Umam Achmad, Direktur Penindakan BNN Letjen Benny Mamoto, dan Sekjen GRANAT Azhar diterima langsung oleh Wakil Ketua KY Imam Anshori Saleh.

Anggota Kaukus, Ikhsan Abdullah menilai ketua majelis PK yang diketuai Hakim Agung Imron Anwari dalam kasus itu diduga melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim karena tidak konsisten dalam menerapkan hukum terkait perkara-perkara narkoba yang dikategorikan berat.

Imron dinilai melanggar Pasal 4 ayat 1d Kode Etik Profesi Hakim yang menyebutkan putusan harus memuat alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang sistematis dimana argumnetasi tersebut harus diawasi dan diikuti serta dapat dipertanggungjawabkan guna menjamin sifat keterbukaan dan kepastian hukum dalam proses peradilan.  

Ketidakkonsistenan Imron, beber Ikhsan, dalam perkara narkoba sebelumnya dia pernah menjatuhkan hukuman mati, tetapi dalam perkara Hengky membatalkan hukuman mati yang dijatuhkan majelis kasasi.

Misalnya, pada tahun 2007 dalam perkara pabrik ekstasi terbesar di Asia yang berlokasi di Cikande Tangerang dengan terdakwa dua orang warga negara asing yaitu Nicolaas Garnick Josephus Geradus (Belanda) dan Serge Areski Atlaoui (Perancis), Imron yang saat itu menjadi salah satu anggota majelis kasasi ikut mengubah hukuman penjara seumur hidup menjadi hukuman mati.

Selain itu, dalam perkara lainya, Imron juga membatalkan hukuman mati bagi Hillary K Chimezie (Nigeria), pemilik 5,8 kilogram heroin menjadi hukuman 12 tahun penjara. “Sama halnya dengan perkara Hengky yang membatalkan hukuman mati menjadi hukuman 15 tahun penjara. Imron inkonsisten dalam menilai hukuman mati yang menurutnya melanggar HAM dan konstitusi,” ungkapnya.

Ikhsan menilai putusan Majelis Hakim PK yang terdiri dari Imron Anwari, Hakim Nyak Pha, dan Achmad Yamanie itu tidak didasarkan keadilan dan memperhatikan bahwa kejahatan narkoba telah menimbulkan kematian setiap harinya. Hal ini tidak sesuai Pasal 5 huruf d Kode Etik Profesi Hakim yang menyebutkan “Kewajiban memutus perkara berdasarkan atas hukum dan rasa keadilan.”

“Kami minta KY memeriksa majelis PK No. 39 PK/Pid.Sus/2011 dan menginvestigasinya. Apabila terbukti ada pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, kita minta KY agar memberikan sanksi yang berat,” kata Ikhsan.

Menanggapi laporan ini, Wakil Ketua KY Imam Anshori Saleh mengaku bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Mahkamah Agung terkait perkara putusan PK yang membatalkan vonis mati gembong narkoba ini. “MA juga sudah merespon, mereka merasa kecolongan juga dengan vonis ini karena alasannya HAM,” kata Imam.

Dia berjanji akan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak lain yang diharapkan bisa menelusuri perkara ini, apakah ada aroma yang bisa menjadi ada tekanan atau iming-iming suap yang mempengaruhi putusannya. “Kami akan mengkaji betul, jika nanti apabila tidak ditemukan (indikasi suap), semoga bisa menjadi pelajaran terakhir untuk putusan-putusan seperti ini ke depan,” harapnya.

Saat dikonfirmasi wartawan, Juru Bicara MA Djoko Sarwoko terkesan enggan menanggapi kontroversi perkara ini. “Tanyakan saja langsung terhadap yang bersangkutan (Imron Anwari, red), saya nggak tahu,” kata Djoko.

Djoko mengaku sejauh ini pimpinan MA belum membicarakan kontroversi kasus ini. Djoko membenarkan putusan MK yang menyatakan hukuman mati konstitusional (tidak melanggar UUD 1945). Karena itu, MA juga wajib berpendapat bahwa pidana mati itu masih merupakan hukum positif yang telah diatur di beberapa UU yang bersifat khusus, seperti UU Pemberantasan Korupsi, UU Narkotika, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana terorisme.

“Artinya, hukum positif masih mengakui adanya pidana mati, itu resmi jawaban dari MA. Kalau ada yang beralasan putusan Hakim Agung Imron Anwari janggal, tidak adil, tanyakan pada Imron, saya tidak bisa jawab,” tegasnya.

Namun, kontroversi putusan ini kemungkinan akan diperdebatkan di kamar pidana. “Tetapi, kapan saya tidak tahu. Kemungkinan ada langkah mempersatukan persepsi terkait pidana mati terhadap kasus-kasus pengedar narkoba agar tidak ada lagi putusan serupa. "Mungkin Imron akan kita undang dalam rapat pleno itu,” katanya. 

Tags: