Dari Warisan Kolonial ke Tanah Bekas
Edsus Akhir Tahun 2012:

Dari Warisan Kolonial ke Tanah Bekas

Sempat dipindahkan ke Yogyakarta seiring dengan perpindahan ibukota negara.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Bangunan gedung MA di depan lapangan banteng yang berdiri pada tahun 1809. Foto: Sgp
Bangunan gedung MA di depan lapangan banteng yang berdiri pada tahun 1809. Foto: Sgp

Sejarah berdirinya Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa ini, khususnya pra kemerdekaan. Di era okupasi Belanda, cikal bakal gedung MA bahkan sudah berdiri pada tahun 1809. Gedung itu bernama Istana Weltvreden yang berdiri kokoh di depan lapangan parade Waterlooplein -sekarang dikenal dengan Lapangan Banteng-. Istana Weltvreden pada perkembangannya disebut juga pengadilan tertinggi (Hoogerechtshaf).

Bangunan Istana tersebut adalah maha karya arsitek Ir. Tramp. Selesai pada 1825, ketika masa Gubernur Jenderal Du Bus, awalnya Istana Weltvreden digunakan untuk tempat berkantornya para gubernur jenderal. Lalu, sejak 1 Mei 1848, sebagian bangunan yang bagian depannya terdiri dari enam pilar itu digunakan untuk Departemen van Finaneient atau Departemen van Justitie (MA) sebagai lembaga peradilan tertingg kala itu.

Sejak saat itulah, hingga masa penjajahan Jepang dan masa kemerdekaan gedung yang bergaya Eropa itu tetap difungsikan sebagai gedung MA. Dikutip dari laman www.jakarta.go.id, banyak gedung besar-megah dibangun memakai hiasan bergaya barok berukuran besar dengan tembok tebal dan ruangan besar serta jendela besar-besar pula. Pengaruh gaya bangunan Belanda dan Eropa di Jakarta menghasilkan gaya bangunan Mestizo, dengan bentuk tiang bercorak Romawi-Yunani. Enam pilar pada gedung MA yang lama menunjukkan perpaduan gaya-gaya arsitektur itu.

Diuraikan dalam buku Berdirinya Mahkamah Agung Republik Indonesia, pasca Indonesia merdeka, kedudukan MA semakin kokoh setelah berlakunya Pasal 24 UUD 1945 sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi. Selanjutnya, melalui Penetapan Pemerintah No. 9 Tahun 1946 ditetapkan tempat kedudukan MA berada di Ibukota Jakarta Raya, yakni di Jalan Lapangan Banteng Timur No. 1 Jakarta Pusat, yang saat ini menjadi Gedung Kementerian Keuangan.

Saat Pemerintah Belanda berniat kembali menjajah Indonesia, tempat kedudukan MA dialihkan ke Yogyakarta – yang saat itu ditetapkan sebagai ibukota negara Indonesia - pada Juli 1946. Di era itu, formasi MA yang pertama terdiri dari Mr. Dr. Kusumah Atmadja (ketua), Mr. R. Satochid Kartanegara (wakil ketua) dengan tiga orang anggota yakni Mr. Husen Tirtaamidjaja, Mr. Wirjono Prodjodikoro, Sutan Kali Malikul Adil dibantu Mr. Soebekti sebagai panitera.                           

Di sela-sela pengalihan itu, pada Desember 1947, Pemerintah Belanda Federal yang menguasai daerah-daerah sebagai negara bagian, seperti Pasundan, Jawa Timur, Sumatera Timur, Indonesia Timur, mendirikan pengadilan tertinggi (Hoogerechtshaf) yang juga menempati gedung MA di Jalan Lapangan Banteng No. 1 Jakarta. Ketua Hoogerechtshaf kala itu dijabat oleh Mr. G. Wijers beranggotakan dua orang Indonesia dan dua orang Belanda serta satu orang jaksa agung (procureur general).                     

Selama masa “pengungsian” di Yogyakarta itu, kedudukan MA dialihkan kembali ke Jakarta setelah selesainya Konferensi Meja Bundar dan pemulihan kedaulatan negara RI, kecuali Irian Barat, pada 1 Januari 1950. Otomatis, semua pekerjaan, personil, gedung Hoogerechtshaf pun diserahkan kepada MA Republik Indonesia Serikat (RIS) di bawah kepemimpinan Mr Kusumah Atmadja ditambah seorang jaksa agung yakni Mr Tirtawinata.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait