Relaksasi Ekspor Mineral Harus Ketat
Berita

Relaksasi Ekspor Mineral Harus Ketat

Inkonsistensi sikap dengan relaksasi, membuka kembali kesempatan ekspor secara besar-besaran.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Relaksasi Ekspor Mineral Harus Ketat
Hukumonline
Bila pemerintah kemudian mengizinkan ekspor konsentrat maka pengorbanan ini jangan sampai sia-sia. Kalau terpaksa relaksasi maka harus ketat dalam nenetukan mana yang serius bangun smelter dan mana yang tidak serius. Demikian diungkapkan Ketua Working Group Kebijakan Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Disan Budi Santoso, Jumat (10/1), di Jakarta.

Ia menegaskan, pelaksanaan UU Minerba merupakan taruhan kedaulatan bangsa di mata dunia. Oleh karena itu, lanjutnya, larangan ekspor mineral tetap harus diberlakukan. Kalaupun ditunda, ia menyebut tiga tahun merupakan waktu yang cukup bagi para pengusaha untuk membangun smelter. Dengan begitu, ia melihat pada 2017 seharusnyya tidak ada lagi relaksasi ekspor.

"Pemerintah harus punya road map pembangunan smelter dan perjanjian yang mengikat komitmen pengusaha. Perjanjian yang dibuat itu jangan seperti pakta integritas yang tidak memiliki kekuatan hukum,” ujarnya.

Menurutnya, pemerintah juga perlu memiliki auditor yang akan memastikan perkembangan proyek pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian berjalan tepat waktu. Sebab, penetapan standar pelaporan sumber daya dan cadangan (KCMI) dan studi kelayakan (feasible study) yang sungguh-sungguh dijadikan syarat untuk mendapatkan perlakukan khusus dari pemerintah.

“Batasan minimum pengolahan dan pemurnian mineral yang dilakukan oleh Kementerian ESDM bersama para pengusaha pertambangan tidak mencerminkan keinginan rakyat Indonesia. Cuma tipu-tipu memainkan kadar dan ini memang celahnya. PP yang terbit nanti bisa mengeluarkan aturan apa saja. Ini menunjukkan pemerintah kalah dalam bargain-ing," papar Budi.

Direktur Eksekutif Center for Petroleum and Energy Economic, Kurtubi, menyarankan regulasi yang akan terbit berupa PP dan Permen ESDM harus satu paket dengan pernyataan perusahaan pertambang untuk bangun smelter. Dalam pernyataan itu pemerintah dan pengusaha menyepakati adanya sanksi berupa pencabutan Kontrak Karya maupun Izin Usaha Pertambangan apabila smelter tidak terwujud dalam tiga tahun.

"Ini perdata biasa dan berlaku di mana pun. Kalau ada aturan itu nanti mereka minta relaksasi lagi setelah tiga tahun," ujarnya.

Lebih lanjut, Kurtubi menuturkan smelter hendaknya dibangun satu area dengan lokasi tambang sehingga lebih efisien lantaran tidak diperlukan ongkos angkut. Dia menyayangkan pengusaha pertambangan yang menyalahkan pemerintah karena tidak menyediakan infrastruktur penunjang seperti ketersediaan listrik.

Menurutnya,pengusaha jangan mengandalkan PLN dalam memenuhi kebutuhan setrum bagi smelter. Pasalnya para pengusaha bisa membangun pembangkit listrik berbahan bakar batubara yang lebih murah daripada mengandalkan listrik PLN. "Dengan pembangkit sendiri mereka bisa tambah daya. Perusahaan pertambangan tanahnya luas jadi lahan bukan hambatan," katanya.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies, Marwan Batubara menilai pemerintah sebenarnya paham dengan kewajiban hilirisasi dan larangan ekspor mineral. Namun karena berbagai kepentingan dan tekanan maka pemerintah mencarikan jalan dan memanipulasi penafsiran UU Minerba.

"Inkonsistensi sikap dengan relaksasi, membuka kembali kesempatan ekspor secara besar-besaran. Jauh-jauh hari mereka (pemerintah) menyatakan konsisten UU, sambil menyiapkan kebijakan relaksasi berupa revisi PP dan Permen. Seperti kasus elpiji nih, banyak bersandiwara " ujarnya.

Marwan menyebut dalam lima tahun terakhir eksploitasi mineral meningkat berlipat ganda. Indonesia menjadi objek pengurasan massif bahan mentah guna mengamankan persediaan negara lain. Akibatnya harga produk mineral turun, penerimaan negara lebih rendah dari tingkat produksi yang berlipat ganda serta kerusakan lingkungan.

Indonesia menjadi negara pengekspor 60 % bijih nikel dan 66 % bijih bauksit ke China, alhasil kehilangan pendapatan negara akibat aksi penyelundupan mencapai Rp 6 triliun. Nilai kerugian ini merupakan selisih antara data impor yang dimiliki China dengan data ekspor yang diterbitkan Kementerian ESDM.
Tags:

Berita Terkait