DPR Temukan Berbagai Persoalan BPJS
Berita

DPR Temukan Berbagai Persoalan BPJS

Muncul pada bagian SDM, pelayanan, kepesertaan, iuran, dan hutang Jamkesmas.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
DPR Temukan Berbagai Persoalan BPJS
Hukumonline
Hampir satu bulan BPJS Kesehatan berjalan, Komisi IX DPR menemukan berbagai persoalan. Persoalan itu diperoleh anggota Dewan langsung dari masyarakat dan saat menyambangi fasilitas kesehatan yang bersinggungan dengan BPJS KesehatanBerbagai masalah itu diketahui anggota Komisi IX DPR karena mendapat pengaduan langsung dari masyarakat ataupun saat menyambangi fasilitas kesehatan yang bersinggungan dengan BPJS Kesehatan.

Beberapa anggota DPR memang membuka posko pengaduan BPJS Kesehatan di daerah pemilihan masing-masing. Menurut Ketua Komisi IX, Ribka Tjiptaning, banyak laporan dan protes yang disampaikan masyarakat ke posko pengaduan. Politisi PDI Perjuangan ini khawatir pelaksanaan BPJS Kesehatan yang kurang maksimal akan memunculkan penolakan dari masyarakat. Ribka sudah mendengar langsung pengaduan masyarakat yang bernada penolakan BPJS Kesehatan karena pelayanan yang berbelit-belit. Bahkan ada rumah sakit yang menolak masyarakat dengan dalih bukan peserta BPJS.

Padahal, Ribka melanjutkan, BPJS Kesehatan dibentuk untuk memangkas birokrasi pelayanan kesehatan selama ini. Sesuai amanat UU Kesehatan, tidak ada alasan bagi penyedia pelayanan kesehatan untuk menolak pasien. “Ini masih ada persoalan di lapngan, RS menolak pasien. Kalau pasien ditolak itu ada sanksi hukumnya,” kata Ribka  dalam rapat dengar pendapat Komisi IX dengan BPJS Kesehatan, Asosiasi RS Daerah (Arsada) dan Asosiasi Dinas Kesehatan (Adinkes) di ruang rapat Komisi IX DPR, Senin (20/1).

Anggota Komisi IX Fraksi PAN, Hang Ali Saputra Syah Pahan, melihat staf di kantor-kantor BPJS Kesehatan kurang siap dalam memberikan pelayanan. Ada pula perbedaan tarif antara RS tipe A-D. Perbedaan ini dia yakini tidak menarik minat tenaga medis untuk bekerja di RS tipe C dan D karena khawatir kompensasi yang diterima kecil.

Anggota Komisi IX Fraksi Demokrat yang sudah merasakan pelayanan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar BPJS Kesehatan, Dinajani Mahdi, mengaku membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Misalnya, ketika menyambangi Puskesmas, Dina harus mengantri kurang lebih dua jam. Setelah itu baru dirujuk ke RS. Dari pengalamannya itu Dina mengusulkan agar pejabat negara diberikan kemudahan terkait mekanisme rujukan.

Sebab, Dina menandaskan, dengan tanggungjawab yang melekat, pejabat negara harus menyelesaikan banyak hal dengan cepat. Hal itu akan sangat terbantu jika proses rujukan dapat dilakukan tanpa memakan waktu yang lama. “Saya mengikuti aturan dalam pelaksanaan program JKN, membutuhkan waktu satu hari,” ujarnya.

Anggota Komisi IX Fraksi PDIP, Surya Chandra Surapaty, menyoroti kepesertaan. Ia melihat masyarakat masih bingung bagaimana mendapatkan kartu BPJS Kesehatan, terutama yang selama ini tidak terdaftar sebagai peserta Jamkesmas dan Jamkesda .

Ia juga menyoroti Surya menyoroti perbedaan antara peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan pekerja bukan penerima upah atau mandiri. Kedua jenis kepesertaan itu walau mendapat ruang perawatan yang sama yaitu kelas III tapi besaran iuran dan jumlah anggota keluarga yang dicakup berbeda. Misalnya, iuran PBI sebesar Rp19.225 setiap bulan ditanggung oleh pemerintah dan mencakup 5 anggota keluarga peserta. Sedangkan untuk mendapat ruang perawatan yang sama, peserta mandiri harus mengiur untuk dirinya sendiri Rp25.500 setiap bulan.

Jika peserta mandiri itu ingin mendaftarkan anggota keluarga (istri/suami dan anak), besaran iuran itu harus dibayar berdasarkan jumlah anggota keluarga yang didaftarkan. Menurut Surya persoalan itu harus dituntaskan karena ia memantau masyarakat yang tergolong pekerja bukan penerima upah banyak yang ingin menjadi peserta BPJS Kesehatan. “Banyak masyarakat kategori mandiri yang mau ikut BPJS,” tuturnya.

PNS yang selama ini menjadi peserta Askes juga tidak luput dari persoalan penyelenggaraan BPJS Kesehatan. Hal itu dikemukakan anggota Komisi IX Fraksi PPP, Okky Asokawati, ia menemukan ada seorang pensiunan PNS Kejaksaan yang mengidap penyakit Parkinson tidak lagi bisa memperoleh pelayanan kesehatan di RS yang biasa disambanginya. Pelayanan itu tidak lagi bisa didapat sejak BPJS Kesehatan beroperasi dan RS yang berlokasi di Jakarta itu berdalih saat ini belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Oleh karenanya Okky mendesak BPJS Kesehatan segera menjalin kontrak kerjasama dengan berbagai RS.

Selain itu Okky menemukan persoalan dalam pengalihan peserta Jamkesmas ke BPJS Kesehatan. Misalnya, peserta pemegang kartu Jamkesmas kuning dan hijau tidak faktanya di lapangan tidak dapat otomatis beralih menjadi peserta PBI BPJS Kesehatan. Sebab, kartu itu tidak dapat digunakan peserta yang bersangkutan untuk mendapat pelayanan kesehatan di daerah lain. Padahal, salah satu prinsip BPJS Kesehatan adalah portabilitas.

Surya dan Okky mempersoalkan kepesertaan pekerja bukan penerima upah yang tidak mencakup anggota keluarga. “Sopir saya ketika dia mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan, dia kaget ketika harus membayar per jiwa bukan per keluarga. Makanya mereka juga pekerja, itu harus dievaluasi kembali,” tandasnya.

Mengenai obat, Okky mengatakan penerimaan obat oleh BPJS Kesehatan hanya di tingkat provinsi. Padahal obat-obatan harus diantar sampai ke tingkat Kabupaten/Kota. Untuk itu perlu kejelasan siapa yang menanggung biaya mengantar obat dari Provinsi sampai ke Kabupaten/Kota. Menyangkut harga obat, Okky melihat harga obat-obatan di semua daerah dipukul rata. Padahal, harga obat itu harusnya berbeda-beda mengacu kondisi yang ada di daerah.

Misalnya, Okky mencatat harga obat-obatan di pulau Jawa sama seperti di Papua. Mestinya, harga obat di Papua harus disesuaikan dengan kondisi di Papua. Tak ketinggalan Okky berharap agar Dewan Pengawas BPJS Kesehatan segera dibentuk.

Melanjutkan tanggapan koleganya di Komisi IX, anggota fraksi Golkar, Poempida Hidayatulloh, menyayangkan sikap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang terlihat belum sepenuhnya melepas BPJS Kesehatan. Sehingga muncul kesan bahwa Kemenkes memandang BPJS Kesehatan hanya sebatas Direktorat di Kementerian yang mengurusi masalah kesehatan itu. Misalnya, tarif dalam INA-CBGs yang selama ini di bawah kendali Kemenkes. Seharusnya, para pemangku kepentingan dilibatkan untuk menentukan tarif INA-CBGs. Dengan begitu diharapkan penyelenggaraan BPJS Kesehatan dapat berjalan lancar.

“Harus ada Perpres (peraturan pelaksana BPJS Kesehatan,-red) yang direvisi untuk memberi wewenang bagi organisasi baru (BPJS),” urainya.

Guna kelancaran penyelengaraan BPJS Kesehatan, angota Komisi IX Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka, mengingatkan tunggakan program Jamkesmas, Jampersal dan mungkin asuransi swasta terhadap RS. Menurutnya tunggakan itu harus segera diselesaikan karena DPR sudah sepakat mengucurkan anggaran Rp500 milyar sebagai dana awal untuk membayar tunggakan Jamkesmas. Jika tidak segera diselesaikan tunggakan itu ditengarai bakal menyulitkan operasional RS sehingga berdampak pada pelayanan terhadap masyarakat. “RS harus beli obat untuk operasionalnya,” ucapnya.
Tags:

Berita Terkait