DPR Tolak Tiga Calon Hakim Agung Usulan KY
Berita

DPR Tolak Tiga Calon Hakim Agung Usulan KY

Komisi Yudisial akan membuka pendaftaran kembali.

Oleh:
Rfq/Ash
Bacaan 2 Menit
DPR Tolak Tiga Calon Hakim Agung Usulan KY
Hukumonline
Setelah melalui mekanisme voting, Komisi III DPR sepakat untuk menolak tiga calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial (KY).

Jumlah anggota Komisi yang membidangi hukum dan HAM di DPR itu yang hadir dan memiliki hak suara 48 orang. Mekanisme voting yang disepakati adalah calon hakim agung itu akan terpilih bila memperoleh suara 50% plus satu dari jumlah anggota Komisi III yang hadir. Artinya, para calon harus minimal memperoleh 25 suara. Namun, tiga calon itu memperoleh suara di bawah jumlah minimal tersebut.

“Karena jumlah suara  tidak memenuhi ketentuan lima puluh persen plus satu, calon hakim agung ini tidak mendapat persetujuan,” ujar Ketua Komisi III, Pieter C Zulkifli Simaboea usai perhitungan suara di Gedung DPR, Selasa (4/2).

Tiga calon itu adalah Hakim Pengadilan Tinggi Makassar Suhardjono, Hakim Tinggi Pengawas Sunarto dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah Maria Anna Samiyati. Suhardjono dan Sunarto masing-masing hanya memperoleh lima suara, sedangkan Maria memperoleh lima suara.

Pieter sendiri mengaku sudah memberikan penilaian tak akan memberi persetujuan ketika pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan tiga calon hakim agung itu berlangsung. Menurutnya, kualitas tiga calon itu tak memenuhi kriteria hakim agung yang dinginkan publik. Ia menegaskan Komisi III telah menempuh mekanisme yang lebih transparan dan objektif dalam seleksi ini.  

“Kita objektif dan tidak ada lagi namanya kompromi-kompromi,” ujarnya.

Pieter menyayangkan hasil seleksi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY). Sebelumnya, KY melalui seleksinya menganggap tiga calon ini pantas untuk menjadi hakim agung. Untung saja, lanjut Pieter, Komisi III tetap melakukan uji kelayakan dan kepatutan sebagai ‘saringan’ setelah seleksi yang dilakukan KY. “Itu terbukti dalam fit and proper test di DPR,” tuturnya.

Lebih lanjut, Pieter mengatakan DPR akan segera memanggil para komisioner KY untuk membicarakan masalah ini. DPR akan meminta KY melakukan seleksi yang lebih ketat lagi sehingga diharapkan KY bisa menyodorkan calon hakim agung terbaik ke DPR. “Dalam waktu dekat saya akan lakukan rapat internal dengan pimpinan dan anggota, akan panggil Komisi Yudisial,” ujar politisi Partai Demokrat ini.

Anggota Komisi III dari Partai Golkar Nudirman Munir menambahkan tiga calon tersebut dinilai tidak menguasai pertanyaan yang diajukan kolega-koleganya. Karenanya, ia berharap Komisi Yudisial segera menyiapkan calon hakim agung lainnya, tentunya yang terbaik. “Kita ingin kursi hakim agung tidak kosong karena akan berdampak pada pencari keadilan. Ini untuk kepentingan rakyat banyak,” imbuhnya.

Utang Lagi
Komisioner KY Bidang Rekrutmen Hakim, Taufiqurrahman Syahuri mengatakan kewenangan DPR memang memberikan persetujuan atau sebaliknya terhadap calon hakim agung yang diusulkan KY. Ia pun tak mau mempersoalkan keputusan Komisi III DPR itu.

Ia menuturkan lembaganya juga akan membuka pendaftaran kembali. Dengan tidak mendapat persetujuan, hasil seleksi lembaganya dinyatakan gagal untuk mengisi kursi yang lowong di Mahkamah Agung. “Ya berarti kita utang lagi,” imbuhnya.

Menurutnya, tidak memberikan persetujuan merupakan hak subyektif masing-masing anggota dewan. Sedangkan lembaganya melakukan seleksi merujuk pada kriteria dan ukuran penilaian. Taufiq menuturkan tak mengetahui mekanisme ukuran penilaian yang digunakan DPR. Padahal, kata Taufiq, ketiga calon merupakan hasil terbaik dari seleksi yang dilakukannya.

Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menuturkan upaya yang dilakukan lembaga legislatif sebagai penyeimbang atas hasil seleksi yang dilakukan lembaga eksternal hakim itu. DPR memang memiliki kewenangan tidak memberikan persetujuan. Apalagi hal itu sudah ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu.

Meski demikian, Erwin berpendapat DPR mesti memberikan penjelasan atas penolakan tersebut kepada publik. Misalnya ukuran penilaian yang digunakan, serta alasan seorang calon hakim agung agar dapat persetujuan DPR, atau sebaliknya. “Jika memang tidak ada alasan, menurut pandangan saya DPR hanya ingin menunjukan eksistensi lembaganya ke calon hakim agung, Komisi Yudisial, dan publik,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait