KPK Supervisi Pengelolaan Tambang
Berita

KPK Supervisi Pengelolaan Tambang

Masih ada sepuluh masalah pertambangan yang belum terselesaikan.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
KPK Supervisi Pengelolaan Tambang
Hukumonline
KPKmencatat, ada sepuluh masalah terkait pengelolaan tambang yang belum terselesaikan hingga saat ini. Menurut hasil kajian KPK, masalah tersebut adalah peningkatan nilai tambah dalam bentuk pengolahan dan pemurnian hasil tambang mineral dan batubara.

Selain itu, terkait pula dengan penataan Kuasa Pertambangan (KP) maupun Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta peningkatan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mendata, terdapat lebih dari sepuluh ribu IUP di seluruh Indonesia. Sebanyak lebih dari 60% dari jumlah izin yang dikeluarkan itu, diakui telah berstatus clean & clear (CNC). Hanya saja sisanya, hampir 5000-an izin, masih berstatus non CNC.

Masalah lain menyangkut pelaksanaan kewajiban pelaporan secara regular. KPK juga menilai pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pascatambang belum berjalan secara baik. Tak hanya itu, penerbitan aturan pelaksana UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan  Mineral dan Batubara masih bermasalah.

“Pengembangan sistem data dan informasi, pelaksanaan pengawasan, dan pengoptimalan penerimaan negara pun masih menyisakan segudang persoalan,” kata Johan Budi SP, Juru Bicara KPK melalui keterangan pers yang diterima hukumonline, Rabu (26/3).

Ditjen Minerba Kementerian ESDM juga mencatat, sejak 2005-2013, piutang negara dari sektor pertambangan sebesar Rp1.308 miliar. Piutang ini merupakan jumlah dari tunggakan iuran tetap dan royalti yang seharusnyya dibayarkan perusahaan tambang. Sebanyak lebih dari 97% atau sekitar p1.277 miliar royalti belum dibayarkan perusahaan tambang. Di samping itu, masih ada Rp31 miliar yang berasal dari tunggakan iuran wajib.

“Oleh karena itu, KPK melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi dengan melakukan kegiatan koordinasi dan supervisi atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di 12 provinsi. Ini dimaksudkan untuk mengawal perbaikan sistem dan kebijakan pengelolaan PNBP mineral dan batubara,” ujarnya.

Johan menjabarkan, 12 provinsi yang dipilih KPK dalam korsup adalah Jambi, Sumsel, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulteng, Sulsel, Sultra, dan Maluku Utara. Menurut Johan, ke-12 provinsi itu memiliki posisi strategis dalam industry pertambangan. Sebab, lebih dari 75% IUP diberikan di wilayah provinsi-provinsi tersebut. Celakanya, dari sejumlah IUP yang tersebar di daerah itu, Johan menyebut, baru 57% yang berstatus CNC. Hampir separuh lainnya, masih berstatus non CNC.

“Jumlah piutang pada 12 provinsi yang dilakukan korsup 69% dari total piutang negara. Ini berasal dari 1.659 perusahaan dari total 7.501 IUP yang ada di 12 provinsi itu,” tambah Johan.

Lebih lanjut Johan menuturkan, dalam sebulan terakhir ini KPK telah melakukan kegiatan kordinasi dan supervise (korsup) di tiga provinsi. Ia merinci, provinsi yang dimaksud, yakni Sulawesi Tengah, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur. Saat ini, KPK juga tengah mengunjungi Kalimantan Selatan. Ia memastikan, sisanya segera menyusul kemudian.

Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyatakan siap mendukung upaya korsup KPK tersebut. Koordinator Nasional Jatam, Hendrik Siregar mengeluhkan, hingga saat ini masih banyak laporan korupsi di bidang pertambangan yang terkatung-katung tanpa penyelesaian jelas. Ia mengungkap bahwa kebanyakan dari laporan tersebut hanya berhenti di penyidik daerah dan tak pernah diteruskan. 

“Jatam berharap dengan supervisi ini, baik dari sisi pengawasan dan penindakan kasus bisa dilakukan lebih efektif. Pasalnya, korupsi di bidang pertambangan selain merugikan negara secara finansial juga merusak alam bumi nusantara,” ucapnya.

Pengamat Politik Andrinof Chaniago mengingatkan, pemerintah baru yang terpilih dalam pemilu mendatang harus terus mengawal kebijakan di sektor pertambangan. Ia melihat pentingnya peran dari presiden dan parlemen serta kekuatan partai pemenang pemilu. Menurutnya hal tersebut dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari industry tambang.

“Besaran royalti yang diterima negara harusnya lebih besar. Tapi kita harus dorong mereka perusahaan tambang itu untuk buat perjanjian publik. Kalau itu sudah diucapkan, kan disaksikan oleh banyak orang, maka perlu ditanyakan bagaimana data-data itu kan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait