MK Diminta Berlakukan Sistem Noken di Papua
Berita

MK Diminta Berlakukan Sistem Noken di Papua

Sistem noken hanya bersifat kasuistis. Merujuk pada adat setempat.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
MK Diminta Berlakukan Sistem Noken di Papua
Hukumonline
Seorang warga Papua, Isman Ismail Asso mempersoalkan sistem ikat suara atau aklamasi (noken) agar dapat diterapkan dalam Pemilu 2014 melalui permohonan uji materi Pasal 154 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif). Sebab, beberapa wilayah di Pegunungan Tengah Papua pemberian suara  dengan sistem pencoblosan tidak bisa dilakukan, tetapi dengan sistem noken.

“Sejumlah PHPU kepala daerah di Papua, MK dalam putusannya telah mengakui pemberian suara dengan sistem noken sebagai praktik yang didasarkan adat istiadat setempat yang dijamin UUD 1945,” kata kuasa hukum pemohon, Habel Rumbiak dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi di ruang sidang MK, Senin (01/4).

Pasal 154 menyebutkan pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan atau nama calon legislatif pada surat suara.

Rumbiak mengungkapkan hingga kini masyarakat Papua masih beda pendapat mengenai penggunaan sistem noken dalam Pemilu 2014 lantaran terbentur dengan adanya Pasal 154 UU Pemilu Legislatif dan Peraturan KPU. Padahal, pemohon beralasan sejumlah sengketa pemilukada di Papua dengan sistem noken telah diakui MK melalui putusannya. Karena itu pemohon meminta sistem noken bisa diterapkan pada Pemilu 2014.

Rumbiak menegaskan pelaksanaan sistem noken di Papua masih perlu diterapkan karena masyrakat di sana khususnya di Pegunungan Tengah, Wamena, Papua, secara adat masih menggunakan tata cara pemilihan yang diwakilkan atau noken.

“Di Wamena masih menggunakan sistem musyawarah mufakat atau noken. Jika sistem coblos masih digunakan di Papua, tetapi salah satu suku di sana masih ada yang melakukan noken, maka ada beberapa suara yang dirugikan,” dalihnya.

Karenanya, pemohon meminta MK menyatakan frasa mencoblos satu kali dalam Pasal 154 UU Pemilu Legislatif dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sistem noken yang berlaku di Papua. “Pemohon juga tidak menyalahkan sistem one man one vote, hanya menginginkan sistem noken hanya berlaku di Papua, sehingga masyarakat di sana dapat menggunakan hak pilihnya dengan sistem noken,” harapnya.

Habel Rumbiak menambahkan seharusnya pembuat UU dan Penyelenggara Pemilu tidak boleh mengesampingkan kesatuan masyarakat  hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya seperti dijamin Pasal 18B UUD 1945. “Pembuat UU dan Penyelengara Pemilu tidak dapat mempertentangkan hukum adat yang berlaku di suatu daerah,” tegasnya.

Menanggapi permohonan, anggota panel hakim, Maria Farida Indrati menjelaskan bahwa sistem noken hanyalah bersifat kasuistis, dalam arti terjadi pada Pemilukada di Papua. “Kalau MK mau memutuskan soal noken dalam pemilukada, itu karena ada kasus konkret (fakta) yang sifatnya kasuistis,” kata Maria.

Menurut Maria tingkat pendidikan pemilu di Papua sudah meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu, masyarakat Papua sudah banyak yang mengerti bagaimana tata cara pemilu sistem pemilu one man one vote.

“Masa dari dulu noken terus? Apakah tidak ada pendidikan pemilu terhadap masyarakat di sana? Padahal, sejak lima tahun lalu pendidikan pemilu masyarakat di sana sudah meningkat,” kata Maria.

Hakim Ahmad Fadlil Sumadi mempertanyakan permintaan pemohon  yang membenarkan pemilihan satu kali oleh satu orang, tetapi meminta juga sistem noken atau sistem perwakilan dalam pelaksanaan pemilu legislatif. “Kok Anda menyebut nyoblos dibenarkan, tetapi noken juga diperlukan, apa dasar konstitusinya? Ini perlu diperjelas,” sarannya.

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil dan Komnas HAM meminta MK memberi penjelasan sistem perwakilan pemilih atau noken yang dianggap konstitusional dalam ajang pemilukada untuk menghindari konflik menjelang Pemilu 2014. Sebab, putusan MK yang mensahkan sistem perwakilan pemilih dalam Pemilukada Bali beberapa waktu lalu dinilai banyak disalahartikan masyarakat awam khususnya daerah yang memiliki kelompok masyarakat adat.

Ketua MK Hamdan Zoelva pernah menyatakan kalau sistem perwakilan pemilih atau noken tidak bisa digunakan untuk pemilu maupun pemilukada daerah lainnya.

MK mengakui kalau sistem noken itu konstitusional. Akan tetapi, sistem itu tidak bisa digeneralisasi berlaku di seluruh kabupaten/kota atau provinsi seluruh Indonesia. Putusan MK itu hanya berlaku untuk perkara tersebut sesuai fakta di lapangan. “Kita sepakat asas pemilu itu Luber Jurdil, dan putusan sistem perwakilan pemilih itu bersifat kasuistik berdasarkan fakta di lapangan, bukan melahirkan norma yang bersifat umum,” kata Hamdan beberapa waktu lalu.
Tags:

Berita Terkait