Pemerintah: Status Tersangka Boleh Sebelum Pemeriksaan
Berita

Pemerintah: Status Tersangka Boleh Sebelum Pemeriksaan

Bukti permulaan didasarkan pada dua alat bukti.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pemerintah: Status Tersangka Boleh Sebelum Pemeriksaan
Hukumonline
Pemerintah menilai norma Pasal 1 angka 2 KUHAP tak mungkin diartikan seseorang dapat ditetapkan terlebih dahulu sebagai tersangka sebelum ada proses penyidikan. Namun, dalam praktik dimungkinkan seseorang dinyatakan sebagai tersangka, tetapi belum diperiksa, sepanjang ada bukti permulaan yang cukup.

“Penyidikan memberi syarat penetapan tersangka yang syaratnya hanya dapat dilakukan setelah penyidik berhasil mengumpulkan bukti-bukti (permulaan) yang cukup,” ujar Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Mualimin Abdi, dalam sidang lanjutan pengujian KUHAP yang dimohonkan tersangka korupsi bioremediasi Bachtiar Abdul Fatah di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (23/4).

Pemerintah menyatakan tahap penyidikan berbeda dengan tahap sidang pengadilan yang menetapkan syarat minimal dua alat bukti ditambah keyakinan hakim. Tahap pembuktian sidang pengadilan sudah sempurna dari hasil pengumpulan barang bukti dan alat bukti yang membuktikan kesalahan terdakwa.

Dalam tahap penyidikan muncul istilah “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” ditujukan pada tahapan awal penegakan hukum pidana. “Jika penyidik menyimpulkan tidak terjadi tindak pidana atau perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana, penyidik tidak menetapkan seseorang sebagai tersangka,” kata Mualimin.

Dijelaskan Mualimin, istilah bukti permulaan yang cukup baik dari segi kualitas maupun kualitas seperti diatur Pasal 1 angka 14 jo Pasal 17, Pasal 21 ayat (1) KUHAP, didasarkan pada dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Dari dua alat bukti penyidik berkeyakinan telah terjadi tindak pidana dan menetapkan seseorang sebagai tersangka. “Jadi, pengertian ‘bukti yang cukup’ dalam praktik telah dibatasi berdasarkan dua alat bukti ditambah keyakinan penyidik secara obyektif,” lanjutnya.

Terkait Pasal 77 huruf a KUHAP (obyek pemeriksaan praperadilan), pemerintah menganggap bukanlah kompetensi Mahkamah Konstitusi. Keberatan pemohon seharusnya ditujukan kepada pembuat undang-undang agar kompetensi lembaga praperadilan diperluas melalui legislative review. Substansi yang diajukan pemohon sudah masuk pembahasan RUU KUHAP.

“Materi Pasal 156 ayat (2) juga bukan kewenangan Mahkamah, melainkan kompetensi pengadilan dan MA. Sebab, Mahkamah tidak mengadili praktik penegakan hukum. Ini menyangkut implementasi norma dalam KUHAP,” tegasnya.

Sebelumnya, terdakwa korupsi proyek bioremediasi Bachtiar Abdul Fatah mempersoalkan Pasal 1 angka 2 dan angka 14, Pasal 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 29, Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4) KUHAP terkait ketentuan penetapan seorang sebagai tersangka dalam proses penyidikan. Padahal, proses penyidikan bukan mengharuskan lahirnya tersangka pada proses akhir.

Pemohon menilai pasal-pasal itu telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip due process of law dan melanggar hak atas kepastian hukum yang adil. Sebab, norma tersebut memberi makna seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka sebelum adanya penyidikan.

Karenanya, bukti permulaan yang cukup dalam Pasal 1 angka 14 jo Pasal 17, Pasal 21 ayat (1) seharusnya dimaknai tidak terbatas alat bukti seperti diatur Pasal 184 KUHAP, tetapi meliputi barang bukti dalam pembuktian universal atau physical evidence/real evidence. Alat bukti tersebut seharusnya dimaknai penyidik telah menemukan dua alat bukti secara kualitatif untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Selain itu, Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak ditambahkan rumusan normanya sehingga menjadi berbunyi : “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai  dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:  sah atau tidaknya penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

Untuk diketahui, Bachtiar bersama-sama dengan Herland Bin Ompo selaku Direktur Utama PT Sumigita Jaya didakwa melakukan tindak pidana korupsi proyek bioremediasi PT CPI di Kecamatan Minas, Kabupaten Siak Provinsi Riau. Keduanya, telah menandatangani kontrak bernomor C 905616 pada September 2011-Maret 2012 untuk menormalisasi tanah yang tercemar limbah.

Bachtiar selaku General Manager (GM) Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) sendiri telah divonis 2 tahun dan denda 200 juta rupiah subside 3 bulan kurungan.
Tags:

Berita Terkait