Upah Buruh Harus Didahulukan dalam Kepailitan
Berita

Upah Buruh Harus Didahulukan dalam Kepailitan

Hak-hak lain di luar upah tidak termasuk.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Upah Buruh Harus Didahulukan dalam Kepailitan
Hukumonline
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali memberikan ‘kado’ bagi kalangan buruh. Dalam putusan yang dibacakan, Kamis (11/9) kemarin, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan pengujian Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Majelis mengatakan upah buruh harus didahulukan dalam kasus kepailitan perusahaan. Putusan ini mengubah praktek selama ini yang menempatkan buruh berada pada antrian terakhir paritas creditorium.

Mahkamah berpendapat Undang-Undang harus memberikan jaminan perlindungan untuk dipenuhinya hak pekerja karena hak itu telah dijamin UUD 1945, dan secara social ekonomi kedudukan buruh lebih lemah dibanding pengusaha. Upah buruh harus dibayar ‘sebelum kering keringatnya’. Kewajiban terhadap negara berada pada tingkat setelah upah pekerja. Negara masih punya sumber penghasilan lain di luar boedel pailit, sedangkan buruh menjadikan upah satu-satunya sumber mempertahankan hidup diri dan keluarganya.

Mahkamah menegaskan upah pekerja harus didahulukan pembayarannya ketika perusahaan pailit. Hal itu dinyatakan dalam putusan perkara No.67/PUU-XI/2013 yang dibacakan Kamis (9/11) di gedung MK Jakarta. Dalam membacakan putusan, anggota mahkamah, Patrialis Akbar, mengatakan pokok permohonan yakni menguji konstitusionalitas frasa “yang didahulukan pembayarannya” dalam pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pemohon menilai pada praktiknya, dalam ketentuan itu, ketika perusahaan dinyatakan pailit, pembayaran upah untuk pekerja tidak didahulukan. Yang diprioritaskan malah utang negara dan biaya kurator, kreditor separatis pemegang jaminan gadai, fidusia dan atau hak tanggungan.

Dalam pertimbangannya, Patrialis mengatakan pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan para pemohon mirip dengan pengujian pasal 29, 55 ayat (1), 59 ayat (1) dan 138 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Kepailitan). Yang telah diputus dalam putusan No.18/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Oktober 2008. Oleh karenanya mahkamah merasa perlu mengutip beberapa pertimbangan putusan tersebut.

Diantaranya, pernyataan pailit oleh hakim merupakan peletakan sita umum (algemene beslag) terhadap seluruh harta kekayaan seorang debitor. Tujuannya, agar tagihan kreditor dapat dibayar secara adil, merata dan seimbang. Pembayaran tagihan itu mengacu asas paru passu pro rata parte karena kedudukan kreditor pada dasarnya sama. Tapi praktiknya, proses itu diatur berdasarkan peringkat atau prioritas piutang yang harus dibayar terlebih dulu. Diatur dalam UU terkait jaminan terhadap pinjaman yang diberikan kreditor terhadap debitor.

Sehingga, berdasarkan UU Kepailitan, pembayaran yang pertama yaitu tagihan hak negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk pemerintah, kemudian upah pekerja. Padahal, penjelasan pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menyatakan yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja ketimbang utang lainnya.

Sementara, dasar hukum hak tagih dari setiap kreditor sama, kecuali hak tagih negara. Soal peringkat atau prioritas pembayaran sebagaimana putusan No.18/PUU-VI/2008 karena ada perbedaan kedudukan yang disebabkan oleh isi perjanjian. Meskipun antara kreditor separatis dan pekerja dasar hukumnya sama yaitu perjanjian, namun Patrialis menjelaskan ketika dilihat dari aspek lain maka terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya secara konstitusional.

Dari aspek subjek hukum, Patrialis mengatakan perjanjian gadai, hipotik dan fidusia merupakan perjanjian yang dilakukan pengusaha dan pemodal. Secara sosial ekonomis para pihak itu dapat dikatakan sama, terlebih lagi pemodal yang bisa jadi juga pengusaha.

Sebaliknya, perjanjian kerja dilakukan oleh subjek hukum yang berbeda yaitu pengusaha dan pekerja. Secara sosial ekonomis, kedudukan mereka tidak sejajar karena posisi pengusaha lebih kuat dan tinggi ketimbang buruh. “Maka Undang-Undang harus memberikan jaminan perlindungan untuk dipenuhinya hak-hak para pekerja/buruh tersebut,” kata Patrialis.

Dari aspek objek, yang menjadi objek dari perjanjian gadai, hipotik dan fidusia adalah properti. Sedangkan objek perjanjian kerja adalah tenaga atau keterampilan (jasa) dengan imbalan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar hidup bagi diri dan keluarga pekerja. Sehingga, mahkamah menilai antara pengusaha dan pekerja punya perbedaan yang mendasar terkait objek yaitu properti dan manusia.

Selaras hal tersebut mahkamah berpendapat pembentukan hukum dimaksudkan untuk melindungi kepentingan manusia. Oleh karenanya, Patrialis menyebut mahkamah menilai kepentingan manusia terhadap diri dan kehidupannya harus menjadi prioritas dan menduduki peringkat teratas ketimbang kreditor separatis. “Upah pekerja/buruh sesungguhnya adalah hutang pengusaha kepada pekerja/buruh, yang seharusnya dibayar sebelum kering keringatnya,” tukasnya.

Dari aspek resiko, mahkamah mengatakan pengusaha menganggap hal itu bagian yang wajar dalam mengelola usaha. Oleh karenanya resiko merupakan ruang lingkup pertimbangan pengusaha ketika melakukan usaha, bukan pekerja.

Sedangkan upah bagi pekerja adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Sehingga, tidak tepat jika upah pekerja itu menduduki peringkat yang lebih rendah daripada resiko yang bukan ruang lingkup pertimbangannya.

Walau begitu mahkamah menilai hak lain yang dimiliki pekerja tidak sama dengan upah. Sebab upah pekerja merupakan hak konstitusional sebagaimana pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Maka wajar jika hak-hak pekerja selain upah berada dibawah peringkat kreditor separatis. Mengenai kewajiban terhadap negara, wajar jika berada diperingkat setelah upah pekerja. Sebab, negara punya sumber pembiayaan lain sedangkan bagi pekerja, upah adalah satu-satunya sumber mempertahankan hidup.

Atas dasar itu, Mahkamah memutuskan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”.
Tags:

Berita Terkait