Pilkada Langsung Membangun Peradaban Demokrasi
Berita

Pilkada Langsung Membangun Peradaban Demokrasi

Semestinya memperbaiki, bukan mengganti sistem.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Proses pemungutan suara pilkada. Foto: Sgp (Ilustrasi)
Proses pemungutan suara pilkada. Foto: Sgp (Ilustrasi)
Perdebatan penerapan mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung atau melalui DPRD kian memanas. Tak saja para politisi dan akademisi yang berseteru, masyarakat pun memiliki penilaian yang terbelah. Pada hakikatnya, mekanisme melalui Pilkada langsung dan melalui DPR sama konstitusionalnya. Hanya saja, Pilkada langsung justru membangun peradaban demokrasi yang hakiki.

Peneliti Senior Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3S), Taftazani, mengatakan peradaban yang dibangun melalui demokrasi langsung sudah berjalan sembilan tahun sejak reformasi digulirkan dan tak bisa dibantah betapa banyak  kepala daerah yang masuk lembah hitam korupsi, hingga mendekam di balik jeruji besi. Kerisauan tersebut tak saja dirasakan kalangan pendukung Pilkada melalui DPR.

Namun, tak selamanya mekanisme Pilkada langsung menjadi momok buruk bagi keberlangsungan peradaban demokrasi. Menurut Taftazani, Pilkada langsung memberikan ruang masyarakat menggunakan hak pilihnya. Sebaliknya, Pilkada melalui DPRD tidak menghormati hak individu masyarakat, tetapi merampasnya secara perlahan.

Ia berpendapat, ada kelemahan Pilkada langsung dan perlu dilakukan pembenahan. Namun, bukan berarti harus mengganti sistem melalui pemilihan langsung menjadi tidak langsung. “Kita tidak hitung-hitungan dagang, tapi kita membangun peradaban yang pantas untuk mengutamakan hak invidu rakyat,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung MPR, Senin (15/9).

Taftazani berpandangan, isu Pilkada langsung menjadi tidak langsung datang secara tiba-tiba pasca Pilpres. Di parlemen, anggota dewan terbelah menjadi dua bagian. Koalisi partai yang menamakan Koalisi Merah Putih (KMP) menyatakan, Pilkada langsung banyak mudharat ketimbang manfaat. Menurutnya, jika dikaitkan dengan banyaknya korupsi, justru pelaku korupsi berasal dari partai.

“Kalau mau objektif bahwa ekses Pilkada baik buruknya hasil kolektif partai juga. Oleh karena itu yang diperbaiki sistemnya, bukan mengganti sistemnya. Sehingga demokrasi dengan Pilkada langsung dapat menemukan bentuknya. Mari kita lihat dengan jernih eksperimen peradaban dan demokrasi lebih stabil,” ujarnya.

Anggota Komisi III Martin Hutabarat mengatakan, usul Pilkada tidak langsung berasal dari pemerintah. Pembahasan RUU tersebut sudah berlangsung dua tahun enam bulan di DPR. Alasan pemerintah saat itu, Pilkada langsung telah menjauhkan cita-cita  negara, yakni tercapainya negara yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

“Tetapi Pilkada langsung banyak mudharatnya. Pilkada langsung maupun tidak langsung itu cara mencari pemimpin dan sah secara konstitusional,” katanya.

Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra itu berpendapat, dalam pelaksanaan Pilkada langsung selama sembilan tahun, sedikitnya 332 kepala daerah dijebloskan ke dalam penjara karena tersandung kasus korupsi. Sebagai partai yang mendukung Pilkada tidak langsung, Martin berpandangan, halitu tidak sejalan dengan pemberantasan korupsi.

“Berapa ratus lagi Gubernur dan walikota mau masuk penjara,” katanya.

Ia berharap masyarakat dapat melihat jernih terkait dengan citra bangsa dan negara. Menurutnya, korupsi sudah sangat menggerogoti sendi kehidupan. Sedangkan Pilkada langsung dinilai sebagai bagian akar masalah yang harus diganti sistemnya menjadi Pilkada tidak langsung.

“Makanya kita harus mengkaji Pilkada langsung atau tidak Langsung. Tapi bagi Gerindra mungkin dengan Pilkada tidak langsung bisa memberantas korupsi,” ujarnya.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) Universitas Al Azhar, Damayanti, mengatakan sistem Pilkada langsung maupun tidak langsung tentu menimbulkan dampak bagi masyarakat. Namun dalam politik, perlu perhitungan sebelum mengambil keputusan politik.

Ia berpandangan, perlunya data yang akurat seberapa besar kerugian dengan menggunakan sistem langsung dan tidak langsung. “Tolong gunakan data berapa yang terlibat korupsi. Berapa persen kerugian. Misalnya, kerusuhan dan lain-lain itu angkanya kecil. Kalau orang masih mau Pilkada lansgung mungkin datanya belum lengkap, sehingga masyarakat bisa belajar,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait