Pekerja Kritik Mekanisme PHI
Berita

Pekerja Kritik Mekanisme PHI

Permudah proses eksekusi putusan kasus ketenagakerjaan

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
PHI Jakarta. Foto : SGP
PHI Jakarta. Foto : SGP
Sejumlah pekerja mengeluhkan proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial karena memberatkan dan tidak melindungi pekerja. Pengadilan pun tak sepenuhnya taat pada jangka waktu penyelesaian yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

Ketua Serikat Pekerja Kereta Api Jabodetabek (SPKAJ), Pupu Saepuloh, mengatakan proses penanganan perkara ketenagakerjaan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) masih terbilang lama. Prakteknya, prose situ tak sesuai asas cepat, tepat, adil dan murah. “Prosesnya lama dan tujuan awalnya sebagaimana tercantum dalam UU PPHI tidak terwujud,” katanya dalam diskusi dan peluncuran buku yang digelar dikantor LBH Jakarta, Senin (15/9).

Menurut Pupu, hal itu dialami SPKAJ ketika mengadvokasi ratusan anggotanya yang mengalami perselisihan hubungan industrial. Pekerja harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk memenuhi administrasi berperkara di PHI. Misalnya, ketika pekerja mengajukan bukti, harus dimaterai lewat Kantor Pos dan legalisasi di kepaniteraan PHI. Bagi pekerja, dana yang dikeluarkan untuk proses itu memberatkan.

Proses lama juga terjadi saat perkara masuk ke Mahkamah Agung (MA). Normatifnya, perkara kasasi harus selesai 30 hari. Pupu menilai praktiknya berbeda. Ada perkara yang diadvokasi SPKAJ baru selesai setelah enam  bulan di MA. Jika proses PPHI itu dihitung sejak perundingan bipartit dan tripartit, maka waktu yang dibutuhkan sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap memakan waktu yang sangat lama.

Penderitaan pekerja tak berhenti di situ, Pupu melanjutkan, sebab kerap kali pekerja menelan pil pahit ketika perkara mereka diputus berbeda oleh majelis agung. Misalnya, PHI mengabulkan sebagian tuntutan dan pekerja dipekerjakan kembali. Namun, putusan MA malah memutus hubungan kerja (PHK). “Kawan-kawan merasa trauma ketika kasusnya masuk PHI, langsung lemes. Sudah prosesnya lama, mahal dan ujungnya pasti PHK,” keluhnya.

Sekjen DPP Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSN), Khamid Istakhori, menjelaskan pada awalnya UU PPHI ditujukan untuk memberikan kepastian hukum dalam mekanisme PPHI. Sebab, sebelumnya, mekanisme penyelesaian yang dilakukan lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dinilai kurang optimal.

Khamid mengakui di kalangan serikat pekerja masih ada perdebatan apakah mekanisme PHI akan diperbaiki dan dilanjutkan atau dirombak total. Namun, ia mengusulkan sebaiknya fungsi pengawas ketenagakerjaan diperkuat. Diantaranya, menarik peran pengawas ketenagakerjaan dari pemerintah daerah ke pusat. Dengan begitu diharapkan pengawasan lebih tersentralisasi dan kuat. Masalahnya, kata dia, ‘pengawas ketengakerjaan di daerah lebih tunduk kepada kepala daerah ketimbang menegakkan hukum ketenagakerjaan’. Pengawas bisa terancam jabatan jika tak menuruti perintah kepala daerah.

Kepala Bidang Penanganan Kasus LBH Jakarta, Muhammad Isnur, mengatakan dalam berperkara di PHI dan MA, pekerja perlu menggunakan strategi. Salah satu caranya, mengkaji putusan perkara Ketenagakerjaan di MA. Jika perkara yang diputus itu sama seperti yang sedang diadvokasi maka serikat pekerja dapat menggunakan putusan itu untuk mengatur strategi dalam gugatan.

Ketika strategi itu jitu, Isnur mengatakan tidak menutup kemungkinan tuntutan pekerja akan menang. Misalnya, MA pernah memutus pekerja yang mengalami union busting untuk bekerja kembali. Strategi serupa juga dapat dilakukan untuk menghadapi perkara di PHI. “Jadi ketika pekerja berperkara di PHI maka bisa mempelajari putusan terbaik dari perkara serupa yang diputus MA untuk digunakan dalam menghadapi persidangan di PHI,” tukasnya.

Walau begitu Isnur berpendapat proses penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan lewat PHI belum efektif memperjuangkan hak-hak pekerja. Padahal UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagian besar pasal-pasalnya memuat ketentuan yang melindungi hak-hak pekerja. Ia menilai UU PPHI tidak selaras dengan semangat UU Ketenagakerjaan. Akibatnya, proses persidangan tidak memenuhi asas, cepat, sederhana dan murah.

Atas dasar tersebut, Isnur mengusulkan agar UU PPHI direvisi sehingga dapat mendorong pemenuhan rasa keadilan bagi pekerja. Misalnya, memperbaiki hukum acara dan mempermudah proses eksekusi. Sebab, sekalipun menang, selama ini pekerja kerap kesulitan melakukan eksekusi. Kemudian, diusulkan agar ada satu wadah untuk menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan. Sehingga, dapat mempercepat penyelesaian perselisihan karena tidak ada lagi proses bipartit dan tripartit.
Tags:

Berita Terkait