Independensi Tak Hanya Milik Bank Sentral
Berita

Independensi Tak Hanya Milik Bank Sentral

Keberadaan OJK tidak bisa dikatakan bertentangan UUD 1945.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Independensi Tak Hanya Milik Bank Sentral
Hukumonline
Sidang lanjutan pengujian UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih terus berlangsung di ruang sidang pleno MK, Rabu (12/11). Pihak pemerintah kembali mengajukan beberapa ahli, salah satunya Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun.

Refly dalam keterangannya, lebih banyak mengulas dan menyoroti makna independensi yang disematkan Bank Indonesia (BI) dalam konstitusi dihubungkan dengan lembaga-lembaga lain termasuk OJK. Dia berpandangan tidak benar menyematkan kata “independensi” hanya pada bank sentral sesuai Pasal 23D UUD 1945. Makna sama dengan independen juga digunakan lembaga-lembaga lain dengan kata mandiri atau bebas.

“Seperti, KPU bersifat mandiri (Pasal 22E ayat (5) UUD 1945), BPK yang bebas dan mandiri (Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, KY bersifat mandiri (Pasal 24B ayat (1) UUD 1945),” ujar Refly dalam sidang lanjutan UU OJK di ruang MK, Rabu (12/11).

Refly melanjutkan sejak era reformasi telah bermunculan banyak lembaga independen seperti KY, KPU, Komnas HAM, KPPU, Komisi Penyiaran Indonesia, KPK, Bawaslu, DKPP, Komisi Informasi Pusat (KIP), dan PPATK. Namun, tidak semua lembaga independen itu secara tegas disebut dalam UUD 1945, seperti DKPP, KIP, Komnas HAM termasuk OJK.

“Lembaga yang tidak disebut dalam UUD 1945 tidak serta merta dikatakan inkonstitusional sepanjang tidak ada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dilanggar. Dalam konteks OJK, apakah OJK mengambil alih fungsi bank sentral seperti disebut Pasal 23D UUD 1945?” ujar Refly dalam persidangan yang diketuai Arief Hidayat.

Menurut Refly, keberadaan OJK tidak bisa dikatakan bertentangan UUD 1945. Justru jika uji materi UU OJK ini dikabulkan akan menimbulkan kekacauan dalam industri keuangan dan perbankan yang melibatkan aset 12 ribu triliun. “Patut diingat OJK bukan seperti SKK Migas yang bisa dimatikan (dibubarkan) begitu saja karena menyangkut sektor perbankan dan keuangan yang ada resiko sistemiknya,” tegasnya.

“Saat ini konglomerasi sektor keuangan butuh lembaga OJK yang independen. Sewajarnya kita mendorong kredibilitas OJK seperti layaknya KPK.”

Dia juga mengkritik materi permohonan yang dinilai tidak konsisten ketika mempersoalkan kewenangan OJK dalam pengawasan lembaga keuangan nonbank. Berdasarkan Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tentang BI, salah satu tugas BI mengawasi industri perbankan.

“Bagian petitum pengawasan bank itulah yang diminta dibatalkan. Petitum itu justru menimbulkan tanda tanya siapa yang sesungguhnya berkepentingan terhadap permohonan ini?”

Sebelumnya, elemen masyarakat yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa (TPKEB) mempersoalkan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK terkait fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan oleh OJK. Sebab, kedua fungsi OJK itu tak diatur dalam konstitusi yang eksesnya mendorong terbentuknya pasar bebas.

Misalnya, kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 bertentangan dengan Pasal 23D dan Pasal 33 UUD 1945. Sebab, kata “independen” dalam konstitusi hanya dimungkinkan dengan melalui bank sentral, bukan OJK. Pasal 5 UU OJK - yang menyebutkan OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan- dapat berdampak penumpukan kewenangan, sehingga menjadi sulit terkontrol.

Justru, Pasal 37 UU OJK terkait pungutan OJK terhadap bank dan industri jasa keuangan dapat mengurangi  kemandirian OJK. Pungutan ini memicu tanda tanya akan ditempatkan di pos apa dalam nomenklatur APBN. Karena itu, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 5 dan Pasal 37.

Pemohon juga meminta MK menghapus frasa ‘..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..’ dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK karena bertentangan dengan Pasal 23D UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait