Hukum Progresif Tidak Jatuh dari Langit
Berita

Hukum Progresif Tidak Jatuh dari Langit

Sudah ada banyak tokoh hukum yang menghasilkan kerja yang progresif.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Hukum Progresif Tidak Jatuh dari Langit
Hukumonline
Apakah hukum progresif sesuatu pemikiran yang baru dalam khasanah perbincangan hukum di Indonesia? Gagasan tentang hukum progresif selalu diidentikkan dengan Prof. Satjipto Rahardjo (almarhum). Mahaguru Universitas Diponegoro Semarang inilah yang banyak menulis dan menyebut langsung hukum progresif.

Murid-murid atau penerus pemikirannya, lazim disebut Tjipian, terus membahas gagasan almarhum Satjipto Rahardjo. Setelah tahun lalu digelar Konsorsium Hukum Progresif, tahun ini beberapa lembaga bersatu melaksanakan Sekolah Hukum Progresif di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (FH UAJY). Mengambil tema ‘Menggelorakan Semangat Keadilan Melalui Hukum Progresif’, perhelatan ini dilaksanakan dua hari, 18-19 November 2014.

Pembantu Dekan II  FH UAJY, Aloysius Wisnubroto, mengatakan pada dasarnya gagasan hukum progresif bukan sesuatu yang baru sama sekali. Secara formal, orang banyak mengenal istilah hukum progresif sejak 2002, ketika Prof. Satjipto Rahardjo menulis sebuah artikel yang merujuk pada hukum progresif. Tetapi sebenarnya gagasan hukum progresif adalah buah dari perjalanan dan pergulatan akademik Prof. Satjipto selama puluhan tahun. “Hukum progresif bukan gagasan yang jatuh dari langit,” kata Aloysius Wisnubroto.

Pria kelahiran Januari 1967 ini termasuk akademisi yang pernah berinteraksi langsung dengan Satjipto Rahardjo. Bahkan ia lulusan doktor ilmu hukum Universitas Diponegoro, dimana Prof. Tjip mengajar. Menurut Aloysius, hukum progresif dikembangkan Prof. Tjip selama perjalanan karir akademisnya. “Bisa disebut sebagai puncak karya intelektual Prof. Tjip,” ujarnya.

Dalam prakteknya, nilai hukum progresif pernah diperlihatkan sejumlah tokoh. Di kalangan hakim misalnya pemikiran Bismar Siregar dan Prof. Asikin Kusuma Atmadja bisa dijadikan contoh. Bismar telah mencoba menerobos kekakuan pemahaman tentang ‘barang’ dalam KUHP ketika hendak digunakan untuk menjerat pria yang membujuk rayu dengan tipu muslihat seorang perempuan. Hakim agung Prof. Asikin juga membuat putusan yang melebihi apa yang diminta korban dalam kasus Kedungombo.

Meskipun putusan Bismar dan Prof. Asikin dikoreksi pada tahap yang lebih tinggi, tetapi pemikiran mereka dianggap Aloysius bernilai hukum progresif. “(Pemikiran) itu tidak lazim, bahkan dianggap melanggar peraturan,” ujar Aloysius.

Paradigma positivisme
Gagasan hukum progresif bisa disebut sebagai kritik terhadap paradigma positivisme. Positivisme sudah merasuki jiwa aparat penegak hukum selama puluhan tahun. Hukum dilihat sebagai rangkaian kata-kata dan prosedur dalam undang-undang. Menurut Aloysius, orang seringkali berlindung di balik jargon ‘itu sudah sesuai peraturan perundang-undangan’.  

Disadari atau tidak, paradigma positivisme punya masalah mainstream, antara lain hegemoni dalam ruang dan waktu, linier, kepastian menjadi keniscayaan, hukum dipahami secara sempit, dan tidak mampu memotret realitas otentik. “Positivisme kehilangan karakter hukum ke-Indonesiaan,” tambah Prof. Khudzaifah Dimyati.

Guru Besar FH Universitas Muhammadiyah Surakarta ini paradigma positivistik yang sudah merasuk ke jiwa aparat penegak hukum membuat hukum dipandang secara sempit, formalistik, dan involutif. Akibatnya, aparat penegak hukum akan lebih mengedepankan formalitas daripada keadilan. Jika masalah mainstream paradigma positivisme itu tak bisa diselesaikan, akibatnya bisa fatal. Penegak hukum seringkali mengabaikan rasa keadilan.
Tags:

Berita Terkait